Prolog

506 183 962
                                    

Jakarta, 29 Februari 2016.

Hari yang lelah untuk hati yang sepi.

Aku hampir saja menyelesaikan tugas terakhirku malam ini di Smart People. Namun sebelum itu, aku menemui motorku dahulu untuk teman pulang. Kukenakan jaket dan bersiap menunggangi motor untuk keluar areal tempat bimbel, lalu menutup dan mengunci pintu pagar.

“Hai, Mel.”

“Siapa?” gumamku.

Seorang lelaki muncul di hadapanku dengan senyuman. “Tunggu saya sebentar.”

“I … iya,” jawabku gugup.

“Happy Valentine’s Day.”

Aku mengangguk. Kugigit bibir bawahku pelan sambil menatap sepatuku. Seketika saja, debar jantungku menjadi lebih cepat dari biasanya. Tubuhku sedikit gemetaran ditambah perasaan canggung di depannya. Perasaan ini benar-benar aneh dan aku malah semakin tak berkutik di tempat. Uluran tangannya masih kutatap lekat, meski ia kurasa sudah mulai pegal.

“Waktu Valentine, kamu dapet cokelat dari siapa aja?” tanyanya. Saat akan kugapai tangannya, ia justru menarik uluran tangannya kembali. “Kamu gugup?”

“Eng … enggak,” kilahku.

“Saya cuma mau kasih cokelat.”

Kali ini langsung kusambar cokelat itu dari tangannya agar kesalahan tadi tak terulang dua kali. “Makasih.”

“Dengan senang hati.” Ia tersenyum simpul. “Mel, saya sayang sama kamu. Jadi pacar saya, mau?”

Hatiku rasanya bagai disambar petir. Mendengar ucapan itu, langsung mengalihkan perhatianku dari rencana pulang, menjadi tak karuan. Aku benar-benar tak percaya akan perkataan ‘sayang’ tadi. Apa ini mimpi?

Rasanya bingung kalau harus kuterima ungkapan perasaan itu sekarang. Hatiku masih belum siap dengan keadaan ini. Aku berusaha menyembunyikan gelisah dalam diri dan terus berharap agar bisa segera pulang dan tertidur lelap.

“Mmm … tapi, kan, kita nggak pernah pe-de-ka-te,” jawabku masih sungkan. “Lagian ini, kan, udah lewat Valentine.”

“Malem ini langsung jalan, ya.”

“Jalan ke mana?”

“Ke mana aja.”

“Untuk?”

“Rayain hari jadian kita,” ungkapnya percaya diri.

“Tapi, kan, aku belum bilang mau.”

“Pasti mau.”

“Kepedean!” tukasku.

Tipis senyum beserta sorot matanya menunjuk ke tanganku yang memegangi cokelat pemberiannya. “Buktinya kamu terima cokelat dari saya.”

Sumpah! Aku jadi malu sendiri. Kedua pipiku pasti memerah dan terlihat konyol di hadapannya. Secepat mungkin, aku berusaha untuk terlihat biasa saja, seolah-olah tak terjadi apa-apa tadi. Kusunggingkan sedikit senyum dan berdeham ringan. Kedua matanya membalas senyumku dengan tatapan teduh.

Ia melirik jam tangannya. “Udah malem. Kamu mau saya anter pulang?”

“Enggak usah,” tolakku halus.

“Sampe rumah, kamu online, ya,” pintanya.

“Iya.”

“Ada yang mau saya omongin.”

Aku berusaha agar sampai di rumah, pikiranku bisa tenang. “Sekarang aja.”

“Saya lupa mau ngomong apa.” Ia terlihat kebingungan. “Nanti kalo udah sampe rumah, langsung saya telepon, gimana? Pasti inget.”

Senyum picikku merespons keanehannya.

“Saya janji,” ujarnya.

“Janji buat apa?”

“Saya janji, akan jadi pacar yang baik buat kamu.”

Sekejap mata, tubuhnya berlalu bersama motor yang ditungganginya.

Hai, Mel!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang