BAB 1 - Kita Pacaran?

419 168 1K
                                    

“Malem, Bunda,” sapaku saat sampai di rumah.

Langsung saja kupeluk Bunda dengan erat. Biar Bunda bisa tahu dan merasakan sendiri bagaimana perasaanku malam ini. Semoga saja dengan hangat dekapan ini, Bunda dan aku menjadi lebih baik dalam hal saling memahami perasaan. Aku tak tahu lagi cara untuk mengungkapkan bahagiaku yang sekarang, selain dengan pelukan.

“Tunggu-tunggu!”

Bunda memeriksa wajahku dan menyentuhnya dengan gemas.

“Kenapa, Bun?”

Dari puncak kepala sampai berakhir di wajahku, Bunda terlihat penasaran. Senyumku tak bisa lepas. Malam ini serasa hatiku berkonspirasi dengan bibirku untuk terus menyiarkan senyum. Perasaan apa namanya, aku cuma tahu bahagia yang menelusuk ke sekujur tubuhku.

Sesekali, aku merasa geli dengan perlakuan Bunda yang baru pertama ini bersikap aneh. Biasanya aku pulang tanpa melakukan pemeriksaan wajah atau semacamnya. Akan tetapi yang kini terjadi seperti aku baru saja melakukan kesalahan. Sebuah sikap yang dicurigai di sekelebat tatap mata Bunda yang menyambut kedatanganku.

Aku mendengus sebal.

“Kamu deg-degan?” Bunda melakukan sedikit tekanan di dadaku, hingga kurasakan jantungku seperti dielus dari dalam. “Jantungmu ka—”

“Bunda, aku mau mandi dulu. Habis itu mau langsung tidur.” Aku menyelang.

“Makan dulu.”

Refleksku menyengir. “Oh, iya,” aku menepuk jidat, “hampir aja lupa.” Kualihkan lagi perkataanku supaya Bunda tak terlalu curiga. “Oke, Bunda.”

“Sip.”

“Tadi Aca dapet ke sini, nggak, Bunda?” tanyaku.

“Enggak. Memangnya kenapa?”

Aca, sahabatku. Rumahnya tepat berada di depan rumahku. Kami bertetangga sejak masih anak-anak. Biasanya ia suka menginap di kamarku, sekalian kami saling berbagi cerita tentang apa pun. Bagiku, Aca adalah satu-satunya teman curhatku yang setia. Manusia kedua yang mau mendengar ocehan-ocehanku setelah Bunda.

Awalnya aku ingin langsung bercerita ke Bunda soal Al. Setelah kupikir-pikir, baiknya aku ceritakan ke Aca dahulu. Kasihan Bunda, sehabis pulang dari warung pasti lelah sekali. Ditambah lagi sejak kemarin, Bunda mengaku sedang tidak enak badan. Menurutku tidak baik kalau aku harus mengganggu istirahatnya malam ini.

“Enggak apa-apa, kok, Bunda.”

Bunda tersenyum tipis.

“Oh, ya. Bunda udah mendingan? Kalo belum, nanti kita langsung ke dokter aja, ya, Bun. Bunda, kan, belum dapet periksa ke dokter. Atau, Bunda mau bubur ayam?” khawatirku.

“Enggak usah, Mel.”

Kukendurkan sedikit rasa khawatirku. “Bunda beneran udah mendingan?”

“Iya.”

“Tapi Bunda, kok, pucet?”

“Besok pagi anterin Bunda ke pasar, ya.”

“Iya,” kuperhatikan raut wajah Bunda masih penasaran, “Bunda.”

Tanganku ditepis lembut Bunda saat akan kusentuh letih di wajahnya. Bunda adalah semangatku di setiap waktu dan selamanya akan begitu.

***

Malam ini aku bahagia sekali. Pulang kerja langsung makan, mandi, dan sekarang tinggal tunggu telepon dari Al. Aku selonjoran di atas kasur sambil scroll layar ponsel dan melihat-lihat feed Instagram Al. Postingan di akunnya bikin aku ketawa. Lucu. Foto-fotonya aneh. Kuperiksa sampai postingan pertama kalinya di Instagram. Cuma foto kedua matanya yang memelotot dengan caption: Sepasang mata saya sudah sekongkol sama hati saya buat pilih kamu jadi kekasih.

Hai, Mel!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang