BAB 5 - Jangan Terlalu Percaya Diri

28 11 23
                                    

Al dan aku bertemu di Taman Kota. Kami sebenarnya tidak tahu apa yang akan kami lakukan di sini. Namun yang pasti, setiap kali Al memintaku menemuinya di mana pun, aku selalu merasa bahagia. Al telah mampu memiliki hatiku dengan cara yang sampai detik ini masih bisa kuingat dalam lihat dan pejaman mata.

Taman ini sudah lebih cantik dibandingkan beberapa minggu yang lalu ketika terakhir kali Aca dan aku bercerita tentang tipe cowok yang kami sukai. Lampu-lampu taman, bangku taman yang nyaman, dan pohon-pohon rindang, serta bunga-bunga yang cantik. Semesta seolah-olah mendukung kehadiran kami berdua.

“Al, kita mau ke mana?” tanyaku.

Udara malam ini cukup dingin. Tubuhku dibawa sedikit berlari oleh genggaman erat Al dan berhenti di satu bangku taman. Kami berdua duduk menatap hamparan lapangan hijau yang luas. Menampilkan banyak pengunjung yang duduk di atas tikar sambil menikmati makanan, layaknya keluarga piknik di akhir pekan. Tepat di sebelah kiri kami, kolam ikan dengan gemercik air yang menyejukkan.

Bahkan saat sudah duduk pun, Al masih menggenggam tanganku sampai menghangat. Aku menoleh dan menangkapnya sedang tersenyum sendiri. “Al, kamu, kok, senyum-senyum sendiri?”

“Nomer yang telepon saya tadi udah saya hapus,” jawabnya dengan memandang ke depan.

“Oh,” balasku singkat.

“Kamu tadi cemburu, ya, Mel?”

Wajah Al kini menangkap basah wajahku yang diam-diam memperhatikannya sejak kududukkan tubuhku di sampingnya. “Mungkin,” kataku canggung. “Kamu nggak marah, kan, sama aku, Al?”

“Justru saya bersyukur, Mel.”

“Bersyukur?” bingungku.

Al menghela napas, lalu mengembuskannya perlahan. “Saya bersyukur karena tanpa sengaja kamu udah cemburu sama saya.” Kedua tangannya menangkup dengan tangan kananku yang berada di dalamnya. “Artinya, kamu cinta sama saya.”

“Tapi, kalo misal aku ditelepon sama cowok dan dia ngaku-ngaku jadi pacar aku, kamu bakal cemburu?”

Sekarang Al benar-benar melepaskan genggamannya dan kedua matanya menyorot ke lapangan hijau yang membentang. “Enggak.”

“Kok, nggak?”

“Karena cuma saya yang bisa bikin kamu bener-bener jatuh cinta,” ucapnya enteng.

Aku berdeham. “Jangan terlalu percaya diri.”

“Saya cuma punya percaya diri, Mel. Sebelum saya ungkapin perasaan saya ke kamu, saya suka minder sendiri. Suka berpikiran kalo saya bakalan ditolak atau kamu nggak suka sama saya.”

“Terus?”

“Saya harus siap dengan apa yang bakalan terjadi. Saat saya bilang sayang ke kamu untuk pertama kali, sebelumnya saya latihan di depan cermin berkali-kali. Dan akhirnya, saya sadar kalo saya cuma butuh percaya diri yang cukup supaya bisa bikin kamu jadi pacar saya.”

Kurebahkan kepalaku di pundaknya. “Al?”

“Iya, Mel?” Tangan Al diletakkan di atas sandaran bangku taman berniat menjaga pundakku. Lama kelamaan, tangannya menyentuh lenganku dan tubuhnya sedikit merapat ke tubuhku.

“Tadi siang yang telepon kamu itu siapa?”

“Enggak usah dibahas. Lagian saya juga nggak mau tau dia siapa.”

“Memangnya kamu nggak penasaran, gitu?”

“Buat apa?”

“Ya, siapa tau aja.”

Hai, Mel!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang