BAB 2 - Pertanyaan Menantang

272 116 457
                                    

Jadwal kerjaku sebagai pegawai administrasi di tempat bimbel, Smart People, hari ini dari jam dua siang sampai paling lambat jam sembilan malam. Aku dan Aca berganti shift setiap dua hari sekali. Kalau Aca hari ini dari jam sebelas pagi sampai jam enam sore. Begitu seterusnya sampai berlanjut ke minggu-minggu berikutnya. Kalau siang sampai sore, pasti kami bertemu dan bekerja bersama. Kami bekerja dari Senin hingga Sabtu dan libur di hari Minggu atau kalau ada tanggal merah.

Bisa bekerja berdua bersama Aca menjadikan aku lebih dekat lagi dengannya setiap hari. Bisa curhat sering-sering tentang apa pun. Mungkin Tuhan memang menciptakan kami untuk menjadi sepasang sahabat yang tak bisa terpisahkan.

Sedang sibuk membantu Bunda di dapur, aku mendengar suara orang-orang tepat di depan rumahku. Bunda memintaku untuk ke luar sebentar dan memeriksa siapa yang datang. Aku bergegas ke halaman rumah.

Di depan rumah Aca, seorang lelaki sedang asyik mengobrol dengannya. Aku mendekat.

"Nah, itu dia!" tunjuk Aca.

"Hai, Mel."

"Al?"

"Gue baru aja mau anterin Al ke rumah lo, Mel. Katanya Al mau ngomong sesuatu sama lo," kata Aca.

"Ma ... mau bilang apa?" Rasanya aku masih gugup saja setelah kejadian kemarin malam. "Ayo mampir." Aku mempersilakan.

"Ibu kamu ada di rumah, Mel?" tanya Al.

"Ada."

"Saya mau kenalan, ya, sama ibu kamu."

"Boleh."

Ah! Semestinya aku harus cepat menyesuaikan diri. Al sudah menjadi pacarku sekarang. Akan tetapi kenapa susah untuk mengubah kesan teman akrab yang dahulu, menjadi pacar yang sekarang saling sayang? Aku mesti cepat menyesuaikan. Kelak, Aca dan Bunda pasti akan tahu hubunganku dengan Al.

"Ayo, Al," ajakku.

Di dapur, Bunda sedang sibuk dengan masakannya.

"Bunda, ada tamu," celetuk Aca.

Bunda menoleh. "Tamu? Siapa?" Bunda menatap Al dengan saksama dari puncak kepala sampai ke ujung kaki. "Pacarmu, Mel?"

"Mmm."

"Saya Al, Bu." Al memperkenalkan diri.

Aku menyenggol lengan Al dan berbisik, "Bunda. Aku panggilnya Bunda."

"Iya," sahutnya.

"Mel, bikinin Al minum. Aca juga mau?" tanya Bunda menawari.

"Enggak usah, Bunda. Buat Al aja."

Al melirikku dan Bunda secara bergantian. "Kalo gitu, saya juga nggak deh, Bu ... Bunda."

Kuperhatikan, Al kemudian menawari Bunda untuk bantuan memasak. Meskipun menurutku ia tak terampil di dapur, tetapi setiap ucapannya mampu mencairkan suasana. Bunda tampak senang mengobrol dengan Al. Berbagai pembahasan soal cara memasak dijelaskan Bunda sampai membuat Al merasa pusing sendiri karena kata Al kalau memasak itu baginya susah.

Al membantu memotong tempe. Selang beberapa lama, aku melihatnya sampai meneteskan air mata karena mengiris bawang. Ia sangat antusias membantu Bunda.

Aca juga sama, ia biasanya membantu aku dan Bunda di dapur dengan alasan sambil belajar masak.

Terlihat kalau Al kegerahan. "Bunda, jualan di mana?"

"Di warung. Itu di ujung gang." Bunda menoleh. "Nanti makan di warung Bunda aja, ya."

"Kalo nambah, gratis nggak, Bun?" celetuk Al.

"Itu, sih, maunya lo, Al. Masak susah!" sergah Aca.

Hai, Mel!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang