BAB 4 - Tuntutan Serius

53 14 24
                                    

Hari ini cukup cerah dengan kumpulan awan yang memikat mata. Pagi yang bagus sambil bernyanyi-nyanyi kecil lagu galau kesukaanku. Ternyata suaraku bagus juga kalau sedang bernyanyi sambil mengendarai motor. Terkadang, aku juga mengarang lagu sendiri dengan nada sembarangan yang penting asal berbunyi. Mungkin kalau lirik-lirik lagunya kucatat, bisa jadi sudah punya satu album lagu karangan sendiri. Akan tetapi sesudah menyanyikannya, nanti saat turun dari motor pasti langsung lupa lagi.

Sosok manusia tinggi sedang berdiri sambil bersandar dengan kaki kanan yang ditekankan ke depan pintu pagar tempat bimbel. Kedua tangannya merogoh saku jaket. Kepalanya melihat ke bawah dengan tudung jaket yang menyembunyikan seluruh wajahnya.

Beberapa meter mau sampai, aku menghentikan kemerduan suaraku. Dalam hati terus berdoa semoga orang itu tidak akan melakukan hal aneh atau pun punya niat jahat yang ingin menodai Smart People.

Laju motor kupelankan seraya menepi ke kiri jalan. Tepat di depan tempat bimbel, ibu jariku siap menekan klakson bila saja ia macam-macam. “Halo?”

“Iya?” Tubuh itu mulai berdiri tegak dan mengeluarkan kedua tangan dari saku jaketnya. “Bisa bicara dengan pacar saya?” Kemudian tudung jaketnya diempaskan ke belakang pundaknya.

“Al!” responsku.

“Iya.”

“Ngapain pagi-pagi ke sini?”

“Saya mau minta kejutannya,” ujarnya santai.

Aku merogoh tas. “Oh, ya, ini kejutannya.” Kuserahkan amplop berisi surat undangan dari Thumbnail Café yang sudah sempat kubaca kemarin malam. “Maaf, ya, Al, aku udah baca isinya.”

“Memangnya isinya apa?”

“Baca aja, Al. Aku yakin, kamu pasti seneng.”

Surat undangan itu mulai dibacanya. Beberapa saat kemudian, kulihat raut bahagia tersiar di wajahnya. “Ini seriusan, Mel?” bingung Al. “Kok, saya nggak tau kalo bakalan dikasih surat undangan ini?”

“Kemarin pas kamu pulang duluan, aku dipanggil sama pemilik kafenya dan dia nanya nama kamu. Awalnya aku mau kasih nomer kamu, tapi malah dikasih surat undangan itu. Selamat, ya, Al. Kamu diundang. Semoga jadi kerjaan baru,” tandasku penuh semangat.

“Makasih.”

“Sama-sama. Tapi kamu masih bisa ngajar di sini, kan, kalo misal kamu kerja di sana? Kamu kuliah juga.”

Al melipat surat undangan itu dan memasukkannya ke saku jaket. Lantas ia mengelus lembut puncak kepalaku. “Mel, saya bisa bagi waktu.”

Kedua mataku memandang Al lekat-lekat. Tanpa sadar, kedua bola mataku telah basah sejak beberapa detik yang lalu. Ada perasaan-perasaan aneh dalam hatiku ketika Al mendapat undangan itu dan membayangkannya mendapat pekerjaan baru. Apa mungkin aku terlalu cemas kalau Al jauh-jauh?

Sekarang, Al mendekatiku. Selangkah lebih maju dan kini masing-masing sepasang mata kami beradu.

“Al, kamu mau ngapain?” Aku berusaha untuk mundur setengah langkah, namun kedua tangan Al menjangkau kedua lenganku dan menahannya. Aku sedikit memundurkan wajahku, sementara rona wajahnya mendekat. “Nga … ngapain?”

“Itu!” tunjuk Al pada keningku.

Aku merengut. “Apa?”

“Kamu habis dicium sama siapa?”

“Hah?”

“Mau aku bersihin capnya? Bawa tisu?” tanyanya.

Kaca spion motorku menampilkan tampak hitam di keningku. Kacau. Ini pasti karena tadi aku lupa cuci muka lagi sehabis bantu Bunda di warung. Al pasti mentertawakan aku dalam hati. Aku pun buru-buru menghapusnya dengan menarik tisu dari dalam tasku. Menggosoknya kuat-kuat.

Hai, Mel!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang