Bab 2 Kebetulan atau Takdir?

278 50 7
                                    

Mungkin pertemuan pertama kita sebuah kebetulan, tapi percayalah ..., pertemuan selanjutnya adalah takdir.

***

"Assalamualaikum, Mbak Diana. Sepupumu yang tampan sudah tiba," sapa Lian saat mendapati Diana tengah berkutat di ruang kerjanya.

"Waalaikumsalam. Lama banget sih, Dek?"

"Ya maaf, Mbak. Tadi mandi dulu, soalnya gerah."

Lian menarik kursi di hadapan Diana, sedikit mencondongkan kepalanya untuk melihat kegiatan sepupunya itu. Hanya berisi grafik-grafik yang tidak ia pahami.

Tak lama Diana berdiri meninggalkan Lian dan kembali lagi membawa kantong kresek hitam yang entah apa isinya. Meletakkannya di hadapan Lian yang menatapnya dengan pandangan menuntut penjelasan.

"Dari Mama, buat nyokap lo."

"Isinya apa, Mbak?" tanya Lian yang mendapat gelengan tanda tak tahu dari sang empunya.

"Yaudah deh, pamit dulu Mbak. Assalamualaikum."

Lian meraih kantong kresek itu, berjalan keluar dari ruang kerja Diana setelah mendapat balasan salam dari wanita itu. Ia bersenandung kecil sambil menuruni tangga. Tepat ketika ia melewati meja kasir, matanya tak sengaja menatap ke arah sudut kedai.

"Gadis hoodie pink?" gumamnya lebih mirip pertanyaan. Tak ingin membuang waktu, ia melangkah mendekati gadis itu.

"Boleh duduk di sini?" tanya Lian. Gadis itu menatapnya dengan tatapan bingung. Lama tak mendapat jawaban, akhirnya ia berinisiatif menarik kursi dan segera duduk tepat di hadapan gadis itu yang bergeming.

"Alian Dava Mahendra, Lian," ucap Lian menjulurkan tangannya. Gadis itu menatap Lian dengan sorot tanya yang nampak jelas.

Tak mendapat balasan membuat Lian menarik tangannya dengan sedikit kikuk. Dia menatap gadis itu yang tampak lebih menawan jika dilihat dari jarak sedekat ini. Pipi chubby, hidungnya yang mancung, bibirnya yang nampak merah alami dan yang paling menarik perhatian Lian adalah bola matanya yang hazel nampak bercahaya saat diterpa sinar matahari.

"Hazel eyes, cantik," gumam Lian tanpa sadar.

Gadis itu mengernyitkan alisnya tak suka mendengar ucapan lelaki di hadapannya yang meskipun tergolong bergumam, tapi masih dapat didengarnya dengan jelas.

Gadis itu melambaikan tangannya ke arah pelayan yang segera menghampirinya. Ia mengeluarkan selembar uang ratusan dan segera meninggalkan kedai tanpa menatap Lian sedikitpun.

"Tadi itu ... gue ditolak?" gumam Lian tak percaya. Pasalnya sepanjang sejarah, tak ada satupun gadis yang mampu menolak pesonanya, tapi gadis tadi dengan terang-terangan menolaknya.

"Apa dia bisu?"

***

Lily berjalan pelan menyusuri taman yang terlihat rame di sore hari seperti ini. Kebanyakan dari mereka adalah orang tua yang tengah menemani anaknya bermain. Mereka terlihat sangat bahagia, bercanda gurau seakan dunia tak memiliki sisi kelam.

Ia mendaratkan bokongnya di atas bangku taman. Kini tatapan Lily terfokus pada seorang balita perempuan yang tengah menangis karena tersandung yang menyebabkan kakinya terluka. Tak lama orang tua dari balita itu datang menghampiri anaknya seraya menghiburnya. Tanpa sadar Lily memegang dadanya, berusaha menahan rasa sesak yang tiba-tiba saja menjalarinya.

Philophobia✓ [Sudah Terbit]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt