Bab 23 Kamu Berubah

134 28 0
                                    

Aku terlalu takut merasakan cinta, tapi sepertinya aku lebih takut melihat sikapmu berubah. Apakah ini ... cinta?

***

Lily terus mengaduk minumannya tanpa minat. Sesekali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kedai, kemudian melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Bunyi lonceng pertanda seseorang baru saja memasuki kedai membuat gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Ia tersenyum kala melihat Karin dan juga Haris yang berjalan ke arahnya.

"Sorry yah kita telat. Dia nih jemputnya lama banget," ucap Karin setelah duduk tepat di hadapan Lily.

"Kok aku, Yang? Kan kamu yang dandannya lama," protes Haris yang kemudian ikut duduk di samping kekasihnya.

"Udah gak usah debat, langsung pesen aja!" timpal Lily membuat sepasang kekasih itu menurut.

Lily kembali menatap pintu kedai, namun orang yang ia tunggu tak kunjung datang. Entah mengapa perasaan Lily menjadi tak enak.

"Lian gak akan datang," ucap Haris seakan menyadari kegelisahan Lily.

"Kenapa?" tanya Lily.

"Hmm ... ada acara keluarga."

Lily tersenyum masam mendengar jawaban Haris. Ini bukan pertama kalinya lelaki itu menolak bertemu. Saat penerimaan rapor seminggu yang lalu, ia juga menolak seperti ini.

"Kantin, yok!" ajak Haris membuat Lily dan Karin mengangguk, tapi tidak dengan Lian.

"Gue dipanggil Pak Deril."

"Yaudah kita duluan."

Haris berjalan sembari menggandeng tangan kekasihnya, meninggalkan Lily bersama Lian. Gadis itu menatap Lian yang kini juga menatapnya.

"Ayah dan Bunda pengen ketemu sama lo, lo-"

"Sorry, gue udah janji pulang cepat sama Mama. Salamin aja buat orang tua Lo," ucap Lian, "Gue pamit."

Lily menatap punggung lelaki itu yang menjauh. Ada yang berbeda dalam perasaan Lily ketika mendapati sikap lelaki itu tak sehangat biasanya.

"Ly! Lily!"

"Eh?" sahut Lily kaget karena panggilan Karin, membuat lamunannya tentang sikap Lian yang mulai berubah buyar.

"Lo mikirin apa? Gue panggil gak nyahut."

"Gak kok, Rin. Gue gak mikirin apa-apa."

"Kalau lo mikirin Lian, mending gak usah. Lian gak apa-apa kok."

Lily tersenyum sembari menganggukkan kepalanya seakan mengerti maksud ucapan Haris. Meskipun sebenarnya, ia masih tak paham dengan perubahan Lian yang cukup dratis.

***

Lily melangkah perlahan menyusuri taman yang terlihat ramai. Setelah bertemu dengan Haris dan Karin tadi, ia memang memutuskan untuk menenangkan pikiran di tempat ini. Dari kejauhan ia melihat orang yang sepertinya ia kenali, seorang laki-laki yang kini duduk membelakanginya.

"Lian?" panggil Lily lebih mirip seperti pertanyaan membuat lelaki itu berbalik menatapnya. Lily segera duduk saat tahu bahwa ia tak salah orang. Ia menatap Lian lama, kemudian mengalihkan tatapannya pada buku bersampul hitam yang dipegang lelaki itu.

Di buku itu jelas tertulis namanya. Belum sempat ia membaca lebih jauh, lelaki itu dengan cepat menyimpan bukunya. Lily kini beralih menatap Lian, tepat di retina lelaki itu.

"Katanya lo ada acara keluarga? Kenapa lo di sini?"

"Lian, jawab gue!"

"Apa pentingnya buat lo?" tanya Lian tanpa menatap ke arah Lily. Lily terdiam mendengar jawaban lelaki itu. Perasaan takut mulai menjalar di hatinya, dadanya terasa sesak.

Tak lama, Lian bangkit dari duduknya dan perlahan melangkah menjauh dari Lily.

"Lian!"

Lelaki itu menghentikan langkahnya kala mendengar panggilan Lily. Dengan posisi yang masih sama, Lian menghela napas panjang menunggu lanjutan kalimat gadis itu.

"Selama ini gue takut ngerasain cinta, tapi ternyata gue lebih takut liat sikap lo yang berubah kayak gini. Apa ini ... cinta?" lanjut Lily.

Lian memejamkan matanya sesaat, kemudian berbalik menghadap ke arah gadis itu. Ia menggeleng dengan tegas.

"Bukan! Itu cuma bentuk rasa terima kasih lo. Lagi pula, lo gak boleh menaruh cinta sama gue-"

"Kenapa?"

"Karena itu cuma akan buat lo kembali kehilangan jati diri dan berakhir tenggelam dalam philophobia," ucap Lian dan berlalu dari hadapan Lily.

Sedangkan gadis itu hanya terdiam merasakan perasaan sesak yang semakin menjadi-jadi. Ia menutup wajahnya degan kedua tangannya. Perlahan terisak karena menyadari rasa takut itu kembali ada. Ia tidak mengerti apa yang ia rasakan, tapi yang pasti ia takut melihat sikap Lian berubah.
.


.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sebagian isi dihapus demi kepentingan penerbitan.


Philophobia✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now