Bab 22 Kukira Ini Akhir

125 30 4
                                    

Perlahan takdir mulai memihak atau lebih tepatnya, aku yang mulai berdamai dengan kenyataan. Lantas, apakah ini akhir dari cerita?

***

"Bunda kamu dinyatakan sembuh 90%. Tinggal bagaimana kamu bisa membuatnya bisa beradaptasi di rumah nanti."

Lily menutup mulutnya tak percaya. Setelah 7 tahun lamanya, akhirnya harapannya menjadi sebuah kenyataan. Ia beralih menatap ayahnya yang juga menampakkan binar bahagia. Kemudian tatapannya beralih pada Lian yang memberinya senyum hangat.

"Dokter serius?" tanya Lily pada Dokter Nadia yang menjawabnya dengan anggukan. Gadis itu tak dapat lagi membendung air mata harunya.

"Saya mau ketemu Bunda."

"Ayo, sekalian kemasi barang-barangnya."

Lily berjalan beriringan dengan Dokter Nadia, sedangkan di belakangnya, Lian dan sang ayah mengikuti langkah gadis itu.

"Bunda," sapa Lily ketika memasuki ruangan bundanya. Sang empunya nama segera berbalik menatap Lily dan beberapa detik kemudian tersenyum. Lily segera berlari, memeluk bundanya yang juga ikut memeluknya.

"Bunda beneran ingat Lily?" tanya Lily. Ia mendongak, menatap tepat di manik mata bundanya. Dilihatnya sang bunda mengangguk membuat gadis itu semakin mengeratkan pelukannya.

"Sejak kapan, Dok?" tanya Lian yang kebetulan berdiri di samping Dokter Nadia. Ia turut bahagia melihat kebahagiaan Lily, namun kesembuhan bundanya Lily terasa sedikit cepat dari yang ia pikirkan.

"Kesembuhan Nely?" Lian mengangguk merespon pertanyaan Dokter Nadia.

"Dua hari yang lalu. Awalnya saya cukup kaget saat pasien mengamuk di kamarnya sembari memegang kepalanya. Saya sempat berpikir bahwa itu adalah komplikasi penyakit mental, mungkin seperti delusi atau yang lebih parahnya skizofrenia ..., gangguan mental yang membuat penderitanya merasakan delusi dan halusinasi secara bersamaan—"

"Apa itu berbahaya, Dok?"

"Sangat. Berbeda dengan delusi yang menyebabkan penderita meyakini kenyataan semu, skizofrenia lebih dari pada itu. Bahkan penderita cenderung berpikir untuk mengakhiri hidupnya, tapi untungnya dugaan saya salah...."

"Bunda tidak mengidap penyakit itu kan, Dok?" tanya Lily yang ternyata mendengar percakapan antara Lian dan Dokter Nadia. Saking senangnya, ia bahkan lupa menanyakan perihal kesembuhan bundanya yang mendadak ini. 

Dokter Nadia menggeleng kemudian berkata, "Syukurlah tidak, itu hanya bagian dari adaptasi otaknya untuk menerima penggalan memori yang sempat tak bisa diterimanya. Perlahan, setelah tubuh dan otaknya mampu menerima segala kenyataan yang pernah terjadi, ia dapat dinyatakan sembuh. Meskipun masih dibutuhkan adaptasi lebih jauh, seperti tidak membuatnya stres atau tertekan," jelas Dokter Nadia.

Tak lama Fadli menghampiri istri dan putrinya. Berlutut tepat di kaki sang istri sembari terisak pelan.

"Maafkan aku."

Untuk beberapa saat, semua yang ada dalam ruangan terdiam menyaksikan penyesalan dari ayahnya Lily, namun tak lama Nely meraih lengan sang suami.

"Bangun, Mas!" pintanya. Setelahnya, terjadi aksi pelukan di antara keluarga kecil tersebut yang menjadikan suasana tampak haru.

Philophobia✓ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang