Prologue

740 34 19
                                    

Langit jauh lebih gelap dari malam-malam sebelumnya. Hujan mengguyur ibukota Korea Selatan. Genangan air di mana-mana. Lampu mobil-mobil polisi dan ambulance berpendar di tengah kegalapan malam. Semua orang polisi dan petugas ambulance berlarian ke sana ke mari mengamankan lokasi. Seorang polisi berkumis tebal dan bertubuh montok berjalan di tengah rinai hujan, menghampiri dua pasang anak kecil yang berdiri di samping mobil ambulance.

Polisi itu mendengus pelan kearah si bocah laki-laki yang memandangnya tanpa ekspresi. Polisi itu mendecakkan lidah, lalu meletakkan tangannya di pundak kiri bocah itu dan menggeleng samar. Untuk beberapa saat, bocah itu tidak bereaksi sama sekali. Ia hanya mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tidak mengerti apa yang sedang berusaha dikatakan si polisi. Namun, sepasang mata yang menjemukan itu mulai berubah ketika beberapa petugas pria ambulance membawa dua kantung mayat ke dalam ambulance.

Si bocah perempuan yang tadinya hanya bisa bersembunyi di balik perawakan tinggi kakak laki-lakinya, menjulurkan kepalanya dan melihat pemandangan itu dengan sinar mata ketakutan. Si bocah laki-laki melirik adik perempuannya dan perlahan mendorong bahu adiknya untuk tetap bersembunyi di belakang punggungnya.

Polisi itu mendesah lagi. “Bagaimana kalau kuantar kalian pulang?”

Si bocah laki-laki hanya diam dan mendongak penuh arogan kearah polisi itu. Betapapun ia berusaha untuk menyembunyikannya, polisi itu tahu mereka berdua sedang sangat terpukul.

“Akan kubelikan kalian berdua dua kotak makanan fast food lengkap dengan hadiah di dalamnya. Bagaimana?” tawar si polisi sembari memaksakan senyum.

“Ayah dan ibuku bilang kami berdua tidak boleh makan junk food,” sahut si sulung tegas.

Polisi itu tertegun. Ia melirik ke dalam ambulance dan dapat melihat dua kantung mayat di dalam sana dalam keadaan basah karena hujan. “Baiklah,” katanya, terdengar putus asa, “kalian bisa mengatakan padaku jika butuh sesuatu atau ingin diantar pulang, oke?”

Si sulung tidak menyahut dan polisi itu benar-benar mulai kehabisan akal. Putus asa, polisi itu akhirnya pergi bergabung bersama kawan-kawannya untuk mencari bukti-bukti di sekitar rongsokan berasap mobil Toyota Starlet 1992 itu. Si bungsu mendongak kearah kakaknya dan mereka saling berpandangan. Si sulung mengulurkan tangan dan menggenggam erat tangan adik perempuannya, lalu memandangi dua kantung mayat di dalam ambulance. Di dalam sana, ada kedua orangtuanya yang telah terbujur kaku dengan wajah yang hampir tidak bisa dikenali akibat luka bakar yang parah.

Hujan turun semakin deras. Air hujan yang dingin mengalir jatuh melalui ujung-ujung rambut si sulung, lalu meleleh bersama air matanya. Ia meremas tangan adiknya lebih erat sekarang sambil bergumam pelan, “Tuhan, tolong kami.”

BRUNCHWhere stories live. Discover now