Chapter 11

152 21 0
                                    

“Aku rasa kau benar,” kata Yena sambil tersenyum sedih. “Selama ini aku salah soal adikmu.”

Sakura diam saja dan melanjutkan menenggak birnya.

“Tidak seharusnya aku mengatakan sesuatu tentang adikmu,” lanjut Yena. “Aku sungguh menyesal atas ucapanku sendiri.”

Sakura kehilangan minat pada birnya dan mulai melirik Yena.

“Kau tahu, aku menghabiskan hidupku untuk bekerja di bengkel,” kata Yena, mulai mengenang, “aku bangun setiap pagi, menjalankan peranku di bengkel, menghabiskan hariku di sana tanpa benar-benar tahu apa dan untuk siapa aku sebenarnya hidup. Hal itu membuatku selalu merasa tidak cukup. Rasanya seperti aku bangun pagi, dan tiba-tiba aku merasa gagal, lalu aku melihat orang-orang di sekitarku bisa melakukan apa yang mereka inginkan sementara aku tidak, seberapa keras pun usahaku untuk mengatasinya. Dengan kata lain, aku merasa tidak sempurna.” Yena mengakhirinya dengan mata berkaca-kaca dan senyum yang dipaksa di kedua sudut bibirnya. “Aku… cacat.”

Sakura takjub atas pengakuan Yena. Ia tersenyum puas atas kegagahan sahabatnya itu dan mengucapkan, “Terima kasih.”

***

“Apa kau tidak akan melakukan sesuatu untuk membawa Minju pulang?”

Sakura menggeleng lemah kearah kaleng birnya yang sudah kosong. “Minju juga tidak pantas berada di sini,” katanya. “Aku tidak bisa melakukan sesuatu untuk membuat keadaannya lebih baik.”

“Kenapa tidak kau tanyakan saja padanya, apa yang dia butuhkan agar merasa lebih baik?” lanjut Yena.

Sakura menggeleng lagi. “Entahlah. Aku tidak begitu yakin.”

“Apakah selama ini kau selalu bersikap seperti ini padanya?” tanya Yena.

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, apakah kalian tidak sering menghabiskan waktu bersama, lalu membicarakan kehidupan kalian? Membicarakan sesuatu yang sama-sama kalian butuhkan agar segala sesuatunya berjalan dengan baik?”

Sakura tersenyum sedih. “Aku menghabiskan banyak waktu di bengkel. Kami tidak sempat melakukannya.”

“Itu yang kumaksud, Sakura,” tukas Yena. “Kehidupanmu hanya seputar dirimu. Kau tidak pernah melibatkan Minju di dalamnya.”

Sakura tertawa mencemooh. “Hei, apa kau lupa aku bekerja selama ini untuk dirinya?”

“Benar, tapi apakah itu yang Minju inginkan?”

Sakura duduk dengan resah di kursinya. “Aku…” ia berdiri dari sana dan tampak kebingungan. Jelas ia sedang berusaha menghindari Yena. “…aku ingin ke kamar mandi sebentar.”

Sakura meninggalkan Yena di dapur, lalu berjalan menuju ruang tengah. Ia melintas di depan tangga dan mendongak ke atas pintu kamar Minju yang terbuka. Perasaan cemas dan rindu akan adiknya mengantar tubuhnya berdiri di ambang pintu kamar adiknya. Pria itu mengamati sekitarnya dan kekacauan-kekacauan yang belum sempat dibereskannya malam itu; lampu tidur yang pecah, pecahan-pecahan gelas di atas lantai, dan kotak pensil serta isinya yang berhamburan di atas sana.

Sakura membungkuk ke lantai dan mulai memunguti satu per satu pensil warna dari lantai. Ia meletakkan pensil warna itu di atas meja, tepat di sebelah tumpukan buku gambar Minju. Sakura memandangi buku gambar itu sebentar, lalu memangkunya di tepi tempat tidur. Selama ini ia sering melihat Minju menggambar di kamar, namun tidak tahu persis apa yang digambar adiknya itu.

Lembar pertama dibuka dan tampaklah sketsa empat orang yang mirip sekali dengan keluarganya. Sakura tersenyum-senyum kagum atas kemampuan gambar Minju yang menakjubkan. Sudut-sudut gambarnya tampak sangat mendetail dan luar biasa. Sakura membuka lembar selanjutnya dan mendapati gambar dirinya yang sedang memasang bohlam lampu di dapur. Ia tidak ingat kapan mengganti bohlam lampu, tapi sepertinya Minju melakukan pekerjaannya dengan baik merekam pemandangan itu dalam memorinya dan menuangkannya dengan indah ke dalam selembar buku gambar.

BRUNCHजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें