Chapter 4

136 29 5
                                    

Minju turun dari kamarnya dengan rambut awut-awutan dan setengah mengucek-ucek matanya dengan malas. Ia berjalan dengan tersendat-sendat menuju dapur, lalu duduk pada salah satu kursi meja makan. Minju mendengus, lalu memerhatikan sekelilingnya, mencari-cari jejak kakak laki-lakinya di dalam dapur. Satu-satunya yang bisa ia temukan adalah satu stoples selai kacang baru dengan sebuah note di atasnya. Minju mengerjapkan matanya dan berusaha membaca tulisan tangan Sakura yang kacau dan sepertinya juga ditulis dengan terburu-buru.

Minju, tadi pagi aku menyempatkan diri untuk mencari minimarket yang terbuka untuk membelikanmu se-stoples selai kacang untuk sarapanmu pagi ini. Maafkan aku tidak bisa menemanimu sarapan bersama pagi ini karena aku harus berangkat lebih awal untuk bekerja di bengkel. Masih banyak hal yang harus kukerjakan di sana dan aku harap kau tidak kecewa. Jaga dirimu baik-baik, Minju. Aku mencintaimu. Love, Sakura.

Minju mendengus, lalu meletakkan note itu ke atas meja dan mulai membuat sarapan. Ia menggendong blender dari lemari gantung dapur dan mulai menuang dua gelas susu ke dalam blender, disusul dengan keping-keping sereal jagung ke dalam lalu dua sendok selai kacang barunya sebagai pelengkap.

Suara dengung blender menyesaki dapur untuk beberapa saat. Minju lalu mematikan mesin blender, kemudian menyambar gelas bekas di atas meja dan menuangkan sarapannya ke dalam sana. Gadis itu mulai menyesap minumannya dengan antusias sembari berjalan meninggalkan dapur menuju ruang TV dengan langkah tergopoh-gopoh.

Gadis itu meletakkan gelasnya yang sudah kosong ke atas meja, lalu menyeka mulutnya. Disambarnya raket ping pong dan sebuah peluit di atas meja ruang TV, lalu disisipkannya raket ping pong itu di antara celana piyamanya. Selesai dengan perlengkapannya, Minju meninggalkan rumah melalui pintu dapur menuju jalan raya yang ramai.

Sementara itu, note yang ditinggalkan Sakura jatuh dari meja diterbangkan angin ketika Minju membuka pintu dapur, lalu mendarat di atas lantai dapur yang berminyak dan penuh debu. Satu hal yang dilupakan oleh Sakura sebelum meninggalkan note  itu adalah kenyataan bahwa adiknya sekarang telah lupa cara membaca. Namun, Sakura tetap saja meninggalkan note itu, karena begitulah Sakura yang penting adalah niat.

***

“Ini sangat memalukan,” geram Eunbi pada ponselnya, “dia menolak ajakan makan malamku. Demi Tuhan, ini sangat memalukan. Aku tidak bisa menahan rasa maluku saat dia mengatakan tidak bisa makan malam bersamaku. Bisakah kau bayangkan itu, Chaeyeon? Bisakah?” lanjutnya sambil menampar stir mobil.

“Oke, oke. Tenangkan dirimu, Eunbi. Tarik napas, buang. Tarik napas, buang. Ingat, kau sedang menyetir,” ujar Chaeyeon di seberang sana.

Eunbi menuruti instruksi Chaeyeon dan mengangguk. “Oke. Aku merasa lebih baik sekarang, tapi tetap saja, ini membuatku terlihat sangat menyedihkan. Aku tidak pernah merasa seburuk ini.”

“Mungkin pria itu tidak benar-benar ingin menolakmu. Mungkin dia memang hanya sedang sibuk,” jelas Chaeyeon.

Eunbi bergumam cukup lama. “Ya, mungkin.”

“Yang perlu kau lakukan sekarang adalah kau harus…”

Eunbi bisa mendengar Chaeyeon terus mengatakan sesuatu diujung telepon, tapi ia tidak sungguh-sungguh mendengarkan temannya itu berbicara.  Perhatiannya justru sedang direbut oleh kemacetan parah dua meter di depannya. Ada apa ini? Tidak biasanya semacet ini, batinnya.

“Chaeyeon, aku akan meneleponmu lagi sebentar, oke? Bye.”

Eunbi melempar ponselnya dengan asal ke atas dashboard, menghentikan mobilnya tepat di deretan terakhir kemacetan, lalu mendongak ke depan. Dilihatnya seorang pria berambut putih turun dari mobilnya dengan wajah merengut tidak senang. Pria itu mulai berteriak-teriak di depan dengan marah. Eunbi yang dirundung rasa penasaran segera melompat turun dari mobil dan menyusul keributan itu.

Dilihatnya seorang gadis berdiri di antara perempatan jalan dengan peluit dan raket ping pong.

Eunbi menautkan alis. “Apa yang dilakukan gadis itu ?”

Entah apa yang terjadi, Eunbi sungguh tidak mengerti. Gadis itu terus meniupkan peluitnya, mengangkat raket ping pongnya, dan menghalau semua mobil, bertindak seperti seorang petugas polisi namun justru mengacaukan jalanan. Beberapa pengendara mulai kehilangan kesabaran dan melayangkan sejumlah umpatan-umpatan kasar dan mengatai gadis itu gila.

Tidak lama kemudian, seorang polisi bertubuh gempal dengan kumis lebatnya muncul di antara kemacetan itu. Polisi itu menghampiri si gadis pengacau itu dan menatapnya curiga.

Gadis itu balas menatap polisi itu dengan sama curiganya. “Aku berhak berada di sini,” katanya membela diri.

“Ya, aku tahu. Sekarang, biarkan aku melihat tanda pengenalmu,” jawab si petugas polisi sambil mengulurkan tangan.

Gadis muda itu tercenung sebentar, lalu mengangguk. “Tunggu sebentar,” katanya. Ia lalu merogoh isi saku celana piyamanya dan mengeluarkan sebuah kartu pada si polisi.

Petugas polisi itu membaca sepintas kartu yang diserahkan gadis itu padanya, lalu melirik yang punya dengan hati-hati. Itu bukan kartu tanda pengenal, melainkan kartu medis atas nama Kim Miyawaki Minju.

***

“Kau tahu, kau adalah orang ter-tolol sedunia yang pernah kutemui,” racau Yena di belakang punggung Sakura.

“Terima kasih,” balas Sakura dingin. “Apakah aku akan mendapat hadiah?” oloknya.

“Ya, kau akan mendapat hadiah dengan menjadi seorang perjaka seumur hidup. Kau puas sekarang?!”

“Hei!” Sakura membalikkan tubuhnya dan menunjuk wajah Yena dengan kesal, “Kau tidak berhak marah jika aku menolak ajakan wanita itu. Itu hakku, bukan hakmu. Dan berhentilah mengikutiku! Apa kau tidak lihat aku sedang bekerja?”

Yena menolak. Ia tetap mengekori Sakura ke manapun pria itu pergi. “Tapi kau tidak bisa menolak wanita itu begitu saja. Kau tidak tahu apa yang sudah kau lewatkan, Miyawaki!”

“Oke, dengar Choi Yena,” kata Sakura sembari setengah membanting serbet kotor ke atas tumpukan busi tidak terpakai di sudut bengkel, “aku tidak bisa pergi karena aku tidak ingin Minju sendiri berada di rumah tanpa pengawasanku.”

“Memangnya kenapa? Dia sudah dewasa. Kau harus percaya padanya!”

“Ya, tapi kau tidak tahu apa yang bisa dan akan dia lakukan nanti!”

“Sakura!” Lagi-lagi Hyewon menyela perdebatan Sakura dan Yena dari meja telepon. “Kau dapat telepon dari Minju!”

Sakura memutar bola matanya, lalu segera menyusul Hyewon.

“Dia bilang kalian kehabisan selai kacang lagi,” kata Hyewon, menyerahkan gagang telepon pada Sakura. “Dan,” Hyewon berdeham, “petugas polisi itu ingin mengkonfirmasinya langsung padamu.”

“Petugas polisi?” Sakura memejamkan mata sebentar dan menggelengkan kepala. “Oh, tidak. Jangan lagi.”

***

Minju berulah lagi, mari kita sama sama auto bilang :  minjugattooo!! Masih ada yang belum ngerti sama ceritanya sampe disini ?? Alurnya berantakan ya ??? Maafkan tothor yang kentang ini, betewe makin kesini makin banyak moment kkubi apalagi pas mereka habis cover monster njaayy makin banyak kkubi nation.

BRUNCHWhere stories live. Discover now