Chapter 6

119 27 10
                                    

Sakura membungkuk di antara kulkas dan meja dapur untuk mengambil sekotak makanan kucing dari sana, lalu menuangkannya ke dalam mangkuk. Dibawanya mangkuk berisi makanan kucing itu ke lantai atas dan mulai memanggil kucing peliharaannya.

“Maru! Saatnya makan!”

Sakura meletakkan mangkuk itu di sisi tangga dan berteriak lagi. “Maru!”

Pria itu mulai letih dan memandangi sekitarnya. Biasanya hanya perlu sekali-dua kali untuk memanggil kucing itu untuk makan, tapi Sakura tidak melihat kucing itu berlari di sekitar rumah dengan ekor kecilnya yang melambai dengan lucu.

“Maru!”

Sakura mulai mengelilingi rumah, membuka pintu kamar satu per satu, mencari di bawah tempat tidur, di sudut-sudut lemari, atau di sela-sela ruang manapun yang mempunyai kemungkinan untuk menyembunyikan tubuh mungil Maru mengingat kucing itu sering juga usil dengan bermain petak umpet dengan Sakura atau Minju. Pria itu kembali ke dapur dan baru menyadari satu hal bahwa telah beberapa hari ini ia tidak lagi mendengar Suara kecil Maru di rumah. Entah kabur atau apa, Sakura tidak begitu yakin, juga merasa aneh.

“Maru!”

Sakura membuka pintu dapur dan menuruni anak tangganya yang rendah. Dia diam sebentar, lalu menunduk saat mencium bau amis dari salah satu arah. Gumpalan bulu orange yang sedang terbaring dengan tidak berdaya di sisi anak tangga dapur mengejutkan pria itu. Sakura duduk berjongkok untuk memastikannya dan yakin benar bahwa itu Maru. kucing malang itu tampak sangat kurus, bau, dan sudah tidak bernyawa.

***


“Yoo Myung Sajangnim sangat marah,” kata Yena setelah meneguk birnya, “kau terlalu sering pulang ke rumah lebih awal daripada menghabiskan waktu untuk bekerja di bengkel. Kau tahu itu, kan?”

Sakura menenggak birnya tanpa mengucapkan apa-apa. Wajahnya terlihat lesu dan lelah. Sepertinya kurang tidur atau terlalu banyak pikiran.

Yena mendesah. “Apa kau sudah menemukan pembantu rumah tangga yang baru?”

Sakura menggeleng lemas. “Belum,” sahutnya dengan suara parau.

“Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Sakura menggeleng lagi. “Belum tahu.”

Yena memerhatikan cahaya redup di kedua mata Sakura. Pria itu memang terlihat putus asa. “Apakah terjadi sesuatu, Miyawaki ?”

Sakura menegakkan tubuhnya pada sandaran kursi tinggi pub dan menenggak birnya dengan paksa, membiarkan cairan itu membakar tenggorokannya. “Kau tahu kan, aku memelihara seekor kucing di rumah. kucing itu kubeli bersama Minju saat festival dua bulan yang lalu. Seminggu setelah kucing itu dibeli, Minju mulai kehilangan ketertarikan pada kucing itu sehingga aku yang bertanggung jawab untuk menjaga dan memberinya makan. Tapi, kau tahu,” Sakura mengedikkan bahu dan menghela napas, “begitu banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini sehingga aku melupakan kucing itu dan membiarkannya mati kelaparan di anak tangga dapur.”

“Oke, mungkin kau terlalu banyak minum sehingga mengigau tentang kucingmu yang sudah mati sekarang,” komentar Yena.

“Tidak tidak” tampik Sakura, “kau tidak mengerti apa yang sedang berusaha kukatakan. Maksudku, aku bahkan tidak bisa menjaga seekor kucing untuk tetap hidup. Lihat? Sekarang peluang apa yang kupunya dengan Minju ?”

Yena menatap sepasang mata Sakura yang kini berkaca-kaca tanpa tahu harus membantu apa untuk membuat sahabatnya itu merasa lebih baik.

“Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Minju,” sambung Sakura masih dengan suara parau, “aku tidak akan sanggup memaafkan diriku sendiri.”

BRUNCHWhere stories live. Discover now