Chapter 7

119 23 2
                                    

Minju tersentak di atas tempat tidur dan terbangun dengan dada berdebar. Ia mendengar suara-suara itu lagi. Sirene ambulance deru mobil polisi, hujan. Minju mendekap kedua telinganya erat-erat dan bergerak dengan gelisah di atas tempat tidur hingga mengacaukan seprainya. Gadis itu menggelengkan kepala dan menjerit-jerit kecil kesakitan. Suara-suara itu menyiksanya dengan sangat dan membuat bulu-bulu halus di tengkuknya meremang.

Minju membuka kelopak matanya lebar-lebar dan meperhatikan sekitarnya. Ia merasa harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya Apa saja.

“Sakura!” jeritnya kesakitan. “Sakura!”

Dengan langkah terseret-seret, Minju turun dari tempat tidur menuju ruang TV. Ia berteriak lagi memanggil nama kakaknya lebih keras.

“Sakura!”

Tapi tidak ada siapapun di situ. Tubuh Minju menggigil ketakutan Bahunya terasa dingin, lututnya bergetar seperti agar-agar dan telapak tangannya dibanjiri keringat dingin.

“Sakura!”

Ia bergerak lagi Mencari di dapur, melongok ke ruang tamu tapi tidak menemukan siapa-siapa. Akal sehatnya mulai tidak bekerja justru didominasi oleh kemungkinan terburuk halusinasinya. Sakura, kakak laki-lakinya satu-satunya anggota keluarga yang ia punya telah meninggalkannya sendiri. Memikirkan hal pahit itu membuat air mata Minju jatuh, Gadis itu menangis dengan suara terisak sambil terus memanggil nama kakaknya.

“Sakura..Sakura,” suaranya terdengar lebih pelan, cenderung putus asa.

Masih dengan menyerukan nama kakaknya, Minju berjalan keluar rumah seperti mayat hidup, menuju trotoar jalan. Sendirian.

***

Sakura mengamuk di lengan Yena layaknya orang kesetanan, sementara pria itu terus menyeretnya dengan kasar keluar dari bengkel. Begitu Yena berhasil menyingkirkan Sakura dari sana pria itu mendorong Sakura lalu melayangkan sebuah tinju keras pada mulut sahabatnya hingga Sakura terpelanting jatuh ke trotoar jalan.

Satu pukulan itu menghasilkan sebuah robekan kecil pada salah satu sudut bibir Sakura dan berhasil membuat pria itu berhenti menangis dan mengamuk.

“Sudah tenang sekarang ?” kata Yena terengah.

Sakura menatap Yena sekilas dan memalingkan wajah. Badannya masih bergetar dan basah oleh keringat. Matanya bengkak luar biasa dan memerah.

Dengan penuh rasa iba, Yena berjongkok di sebelah Sakura dan menyentuh pundak sahabatnya. “Sakura, dengarkan aku. aku rasa panti rehabilitasi itu memang jawaban yang tepat untuk Minju. Ini demi kebaikanmu dan Minju, kau harus tahu itu.”

Sakura menyingkirkan tangan Yena dengan kasar dari pundaknya dan menatap pria itu tajam. “Jangan menasihatiku soal adikku, Aku tahu apa yang terbaik untuknya.”

“Sakura, apa kau tidak sadar bahwa kau membuang banyak waktumu hanya untuk merawat adikmu ? Mengapa kau tidak sadar-sadar juga ? Berikan waktu untuk dirimu sendiri! Kau pantas mendapatkannya!”

Sakura mendorong tubuh Yena dengan kasar dan berteriak penuh marah, “Kau benar! Aku memang banyak menyia-nyiakan waktuku hanya untuk merawat adikku yang sakit. Tapi aku tidak akan pernah menyesalinya. Bahkan jika Tuhan menawarkan kehidupan kedua kepadaku, aku tidak akan menukarkan Minju dengan siapapun. Minju adalah sumber kebahagiaanku dan aku tidak akan menukarnya dengan kebahagiaan seperti apapun.”

Yena menelan ludah. Ia telah kalah telak di bawah sepasang mata yang bercahaya penuh marah juga bisa berubah penuh sayang dan meneduhkan jiwa. Yena tergagap-gagap, ingin mengucapkan maaf atas kelancangannya, namun Sakura telah duluan berbalik dan pergi meninggalkannya.

BRUNCHWhere stories live. Discover now