Chapter. 22

11.3K 1.7K 303
                                    

Butuh tiga hari buat tulis lapak ini, anjir!
Qlo gak karena sayang, udah pengen gue ghibah.

Jared membuka mata ketika bahunya terasa begitu menyakitkan. Sepertinya, efek obat penghilang rasa sakit itu memudar, dan itu berarti sudah empat jam dirinya tidak sadarkan diri.

Mengerjap perlahan, lalu melihat sekelilingnya dengan penuh penilaian. Dirinya tidak sedang berada di base camp, atau pun di rumahnya sendiri. Kamar ini terasa asing namun familiar. 

Tapi, rasanya tidak mungkin jika pikiran Jared tentang dirinya yang sedang berada di dalam kediaman Estelle dan menempati kamar tamunya.

"Ugh," keluh Jared ketika bahunya berdenyut nyeri.

Fuck! Dia benar-benar benci harus bergulat dengan seekor beruang. Jika bukan karena posisi Estelle yang mengalihkan arahan senjatanya, sudah pasti beruang itu akan mati dengan hanya satu kali tembakan.

Dari tembakan yang hanya mengenai sisi bahu beruang itu, Jared tahu jika bahaya masih mengancam Estelle. Tidak banyak waktu, dia segera menerjangkan diri untuk berhadapan dengan beruang itu dengan bodohnya.

Sialnya, beruang itu masih terlalu kuat meski sudah mendapat luka tembakan. Dan sialnya lagi, beruang itu menggigit bahunya dengan begitu dalam, hingga Jared yakin jika gigitan itu meretakkan tulang bahunya.

Berusaha untuk bangkit, Jared mengerang kesakitan saat bergerak. Kembali mengumpat dalam suara serak, Jared berusaha untuk duduk sambil bernapas dalam buruan kasar. Keningnya sudah berkeringat dan sebagian tubuhnya terasa kebas.

Meski luka sudah dibebat, tapi Jared yakin itu akan memakan waktu lama untuk pulih. Dia membutuhkan serum pemulihan dengan dosis tertinggi, namun tidak memilikinya saat ini. Satu-satunya cara adalah menghubungi ayahnya, tapi Jared tidak ingin melakukan komunikasi itu karena nantinya akan sangat merepotkan.

"Kau sudah sadar?"

Pertanyaan yang terdengar cemas dan ragu itu, membuat Jared spontan menoleh. Tampak Estelle berdiri di ambang pintu, mengawasinya dengan sikap canggung dan gugup.

Sepasang mata birunya sudah menjadi kesukaan Jared di setiap kali melihatnya. Wanita itu semakin cantik dan bersinar.

Mengabaikan rasa sakitnya saat bergerak, Jared beringsut dari ranjang sambil menahan napas, lalu berdiri dan membungkuk hormat padanya.

"Y-Yang Mulia. Apa kau baik-baik saja?" tanya Jared dengan suara tertahan.

Meringis pelan, Jared langsung terduduk kembali di tepi ranjang, disusul Estelle yang sudah datang mendekat dan berlutut di depan pangkuannya.

Mengerjap kaget, Jared hendak meminta Estelle untuk bangkit, tapi wanita itu menggelengkan kepala sambil menatapnya tegas.

"Jangan bergerak! Kau kehilangan banyak darah dan lukamu sangat dalam. Kau harus berbaring dan tidak bisa beranjak seperti ini," ucap Estelle tegas.

Rasa haru menyelimuti hati Jared ketika bisa menatap Estelle sedekat ini. Wanita yang pernah menjadi miliknya dan sudah disia-siakan olehnya. Rasanya, Jared masih beruntung jika diberi kesempatan untuk bisa berhadapan dengan Estelle secara langsung.

"Terima kasih, Yang Mulia. Kurasa, akan lebih baik jika aku kembali ke tempatku," ucap Jared serak.

Estelle segera beranjak dan menuju ke meja kecil untuk mengambil segelas air. Dia kembali untuk membantu Jared minum. Tampak ragu dan canggung, Jared membiarkan Estelle membantunya karena dia membutuhkan minum.

"Kau bisa beristirahat selama yang kau butuhkan di sini. Jarak menuju ke base camp atau tempatmu cukup jauh, tidak memungkinkan dirimu untuk melakukan perjalanan. Lukamu cukup parah," ujar Estelle setelah memberi Jared minum.

The Sadden QueenWhere stories live. Discover now