14. Pernikahan yang Dirahasiakan

3.4K 199 3
                                    

Pesan dari Lena bertubi-tubi masuk ke ponsel Najla selama dua hari ini. Lelah sekali menghadapi perempuan ini. Karena Icha sudah sembuh, Najla pun memutuskan akan mendatangi apotek cabang Persada. Mau tak mau, jika memang ada sesuatu antara Mas Bram dan perempuan itu, Najla harus tahu, siapa dia. Kalau memang perempuan itu seperti yang Lena gambarkan – genit, mepet Mas Bram terus, pandai merayu Mas Bram – maka Najla harus menghentikan hubungan mereka.

Bukan apa-apa, satu perempuan seperti Lena dalam hidupnya sudah cukup.

Walau sebenarnya hati kecil Najla tak percaya Mas Bram bisa dekat dengan perempuan lain. Suaminya itu saja sudah berkali-kali mendiskusikan dengan Najla kemungkinan menceraikan Lena. Bahkan, secara tersirat, Mas Bram sempat mengindikasikan bahwa ia hampir tak pernah menyentuh Lena. Satu-satunya alasan Mas Bram masih bertahan dengan Lena adalah karena Fadhil.

Najla menyetujui alasan Mas Bram, karena ia tak tega jika anak kecil itu harus kembali kehilangan sosok seorang bapak dalam hidupnya.

Selepas mengantar Icha dan Nabil sekolah, Najla mengarahkan kendaraan ke arah Persada. Di jalan, ia mempersiapkan diri untuk menghadapi perempuan itu. Berdoa dalam hati agar semua tuduhan Lena salah.

Dan saat memasuki apotek yang beraroma khas itu, Najla disambut seorang perempuan yang sangat manis.

"Selamat pagi, Ibu, ada yang bisa dibantu?"

Najla membalas senyumannya. "Saya mau cari vitamin untuk anak-anak."

Perempuan itu, Rahma, dengan sigap mengarahkan Najla ke rak vitamin dan menunjukkan vitamin yang cocok untuk anak-anak. "Ini, Bu. Vitamin berbentuk sirup yang rasanya enak. Jadi, anak-anak minum tanpa harus dipaksa. Anaknya usia berapa, Bu?"

Najla menerima vitamin yang disarankan. "Usia TK dan SD."

"Oh, cocok kalau begitu vitamin ini, Bu."

"Oke, saya mau yang ini." Najla menyerahkan vitamin itu sambil melirik ke nama yang tertera di batch pada jas Putih yang Rahma kenakan.

Jadi, ini perempuan yang Lena maksud. Najla memerhatikannya dengan saksama. Tidak terkesan genit. Bahkan sangat sopan dan santun. Jilbab yang ia kenakan juga cukup syar'i.

Menyadari dirinya sedang diperhatikan, Rahma mengangkat wajah dan menatap Najla. "Ada lagi yang bisa saya bantu, Bu?"

Bersamaan dengan itu, Bu Yana keluar dari ruang belakang apotek dan terkesiap melihat Najla di sana. "Bu Najla! Sudah lama?"

Najla tersenyum. "Baru kok, Bu Yana."

"Kenapa nggak bilang mau ke sini? Bu Najla cari apa?"

"Tadi pas sekalian lewat. Mau cari vitamin buat Icha dan Nabil."

"Oh iya, kata Pak Bram, Icha sakit? Sekarang gimana keadaan Icha?" Bu Yana tampak sangat prihatin.

"Icha udah sembuh, Bu. Ini saya habis antar ke sekolah."

Rahma memerhatikan mereka. Otaknya menyimpulkan. Wanita cantik dan bersahaja ini adalah istri Pak Bramantya. Istri pertama Pak Bramantya. Melihatnya membuat hati Rahma teduh. Berbeda sekali dengan Bu Lena, istri kedua Pak Bramantya yang menuduh seenaknya.

Bu Yana menoleh ke Rahma. "Rahma, kenalin. Ini istri Pak Bramantya, Bu Najla."

Rahma segera dengan sopan menyalami Najla. Dalam hati Rahma berbisik, ini baru perempuan yang pas untuk menjadi istri Pak Bramantya.

Mereka mengobrol sejenak, lalu ada pelanggan lain datang. Rahma permisi untuk melayani sang pelanggan.

Sambil mengobrol dengan Bu Yana, Najla memerhatikan Rahma. Najla sangat terkesan dengan kesantunan Rahma dalam melayani pelanggan. Yang datang adalah seorang pria berusia sekitar enampuluh tahun, tampak berada dan masih dandy. Tapi tak sedikit pun Rahma terlihat genit atau caper dengan lelaki itu. Rahma sangat berkelas. Berbanding terbalik dengan gambaran Lena tentang dirinya.

Najla yakin, ada sesuatu yang membuat Lena mencurigai Rahma, tapi apa? Pengaruh dari siapa? Nantilah biar ia selidiki lagi.

Setelah Bu Yana menyiapkan vitamin yang tadi Rahma tawarkan, Najla pamit kepada Bu Yana dan melambaikan tangan bersahabat ke arah Rahma. Rahma menyambutnya dengan anggukan sopan.

Tak berapa lama, pelanggan pria tadi juga selesai berbelanja dan keluar dari apotek. Tinggal Rahma dan Bu Yana di ruangan itu. Bu Yana menoleh ke arah Rahma.

"Aku lihat, Bu Najla memerhatikan kamu."

Rahma tersenyum. "Iya, Bu, saya juga merasakan."

"Pasti Bu Lena ngadu yang enggak-enggak ke Bu Najla. Tapi kamu tenang aja. Kamu lihat sendiri tadi bagaimana Bu Najla. Kamu nggak usah khawatir. Apalagi nanti kalau kamu sudah menikah. Pasti Bu Lena nggak punya alasan lagi untuk mengganggu kamu."

Rahma mengangguk. "Iya, Bu. Semoga, ya."

Lalu Rahma pun teringat ucapan Teguh semalam. Bagaimana kabar calon suaminya itu? Bisakah ia membujuk ibunya? Rahma sangsi, tapi ia tak ingin berpikir buruk. Hatinya berharap, Teguh takkan mengingkari janji yang ia ucapkan di hadapan Ayah semalam.

***

Di kantor, Teguh tak tenang. Semalam ia sempat menyinggung soal pernikahan dengan ibunya, Tutiek, tapi respon Tutiek sangat teramat negatif.

"Udahlah, Guh, putusin aja si Rahma. Ngapain, sih, lama-lama dengan satu perempuan aja. Kamu harus tau, di luar sana, ada baaaaanyak perempuan yang jauh lebih cantik dari Rahma."

"Tapi, Bu—"

Tutiek segera memotong. "Ibu malah kasihan sama Rahma kalau dia harus nunggu kamu lama-lama, Guh. Usia Rahma sudah cocok untuk menikah. Terlambat sedikit lagi aja, dia jadi perawan tua. Kamu jangan egois, mau sama dia, padahal kemampuan belum ada."

Teguh menyadari, ucapan ibunya ada benarnya. Namun ia justru merasa egois jika melepaskan Rahma. Apalagi, ia juga sangat mencintai Rahma.

Tiba-tiba masuk pesan dari Rahma.

Gimana, Kak? Ibu setuju? Gak ada masalah, kan?

Teguh terdiam sejenak, lalu menjawab dengan keyakinan penuh.

Nggak ada masalah. Ibu setuju, tapi nggak usah pake acara lamaran, ya? Nanti aja sekalian di hari pernikahan Ibu datang. Soalnya kan udah mepet banget. Kita bikin simple aja. Malam nanti aku ke rumah, kita tetapkan tanggal, besok kita urus pendaftaran ke KUA.

Di apotek, Rahma terkesiap saat membaca jawaban Teguh. Sungguh, kah, ini? Akhirnya ia akan menikah dengan Teguh? Rahma tersenyum bahagia. Ia juga setuju dengan Teguh, dibuat simpel saja urusan ini. Nggak perlu prosesi ini-itu, nanti Ibu Teguh malah mundur. Rahma segera menyampaikan berita bahagia ini kepada Bahrun dan Erma.

Ia melipir ke ruang loker saat jam makan siang, menghubungi Erma. Di rumah, Erma menerima telepon dari Rahma.

"Mah, ibunya Kak Teguh sudah setuju. Nanti malam, Kak Teguh akan datang ke rumah, kita tentukan tanggal pernikahannya kapan, Mah."

Erma sontak bahagia. "Alhamdulillah. Ibu nggak nyangka, si Tutiek itu akhirnya setuju juga. Ibu pikir, dia akan suruh Teguh putusin kamu, Neng."

"Makanya, Mah, jangan suudzon dulu. Hehe. Ya udah ya, Mah, Neng mau sholat dulu. Cuma mau kasih kabar ini."

"Iya, nanti Ayah pulang, Mamah kasih tau. Ayah pasti seneng."

Rahma tersenyum, lalu mereka memutus sambungan telepon. Ada haru di hati Rahma. Ia bahagia.

Rahma tak tahu, di kantornya, Teguh justru sebaiknya. Kekasihnya itu sedang beristighfar, memohon maaf kepada ibunya dalam hati. Karena, ia akan mempersiapkan pernikahan ini dengan diam-diam. Rencananya, sehari sebelum tanggal yang ditentukan kelak, barulah ia akan memberi tahu ibunya. Ia yakin, jika hari itu tiba, ibunya tak punya pilihan lain selain menyetujui pernikahan anaknya semata wayang dengan sang kekasih tercinta. Biarlah untuk saat ini, pernikahan ini menjadi rahasia yang akan ia simpan dari perempuan yang telah melahirkannya itu.

ISTRI KETIGAWhere stories live. Discover now