Malam itu, Rahma dan Bramantya sama-sama gelisah di kamar masing-masing. Mereka tak bisa melupakan pelukan tadi. Rahma tak pernah seintim itu dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Sementara Bramantya tak bisa melupakan kenyamanan yang Rahma berikan.
Rahma menatap connecting door, pintu yang menyambungkan kamarnya dan kamar kerja Bramantya. Sebelah hatinya berharap Bramantya membuka pintu tersebut. Sebelah lainnya menginginkan hal sebaliknya. Ia takut.
Bramantya beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah perlahan menuju connecting door. Tangannya dengan ragu bergerak hendak membuka pintu tersebut. Namun, ia tiba-tiba teringat janjinya kepada Rahma, bahwa ia takkan menyentuh Rahma jika istrinya itu tak ingin. Tadi Rahma tidak membalas pelukannya, namun tak menolak saat tangannya digenggam. Bramantya sungguh tak bisa menerka, Rahma ingin atau tidak ingin disentuh.
Dengan kegelisahan yang telah begitu memuncak, Bramantya kembali ke peraduannya. Ia memang jatuh cinta kepada Rahma tapi selama ia tak tahu bagaimana perasaan Rahma kepadanya, ia tak akan bertindak kurang ajar.
Bramantya tidak tahu, di peraduannya, Rahma memandangi connecting door tersebut hingga perlahan matanya menutup karena kantuk dan saat ia terbangun di waktu Subuh, Rahma merasakan kekecewaan, seakan dirinya tak diinginkan.
***
Selepas sarapan, Bramantya berangkat kerja bersama Rahma yang hendak ke kampus. Di mobil, mereka memilih diam, sibuk dengan perasaan masing-masing.
Saat menurunkan Rahma di kampus, Bramantya dengan lirih berpesan, "Hati-hati, ya, nanti kalau mau ke apotek. Naik taksi aja. Ada uangnya?"
Rahma mengangguk pelan. "Ada."
Bramantya berusaha tersenyum karena ia justru merasa Rahma kini kembali kaku seperti dulu. Pria berbadan tegap tersebut menyesali pelukannya kemarin. Namun nasi sudah menjadi bubur. Ia tak bisa memutar waktu .
Bramantya mengangguk tak kalah kakunya. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Rahma terdiam memandang mobil Bramantya berlalu, hingga tak tampak lagi, barulah ia berbalik dan masuk ke gedung perkuliahan.
***
Di atas tempat tidur di ruang rawatnya di rumah sakit, Teguh memandangi chat di grup SMP-nya. Tak ada balasan atau ucapan lekas sembuh dari Rahma. Apakah Rahma benar-benar sudah tak memedulikannya lagi?
Tiba-tiba masuk telepon dari Tisa yang sedang menuju rumah Teguh dengan mobilnya.
"Ada apa, Sa?" sapa Teguh dengan nada suara yang seakan berkata, menerima telepon dari kamu adalah hal terakhir yang kuinginkan dalam hidupku.
"Nggak ada apa-apa, hanya mau kasih tau aja, aku OTW ke rumah kamu."
"Ngapain?!" Teguh terbelalak. "Aku masih di rumah sakit."
"Aku tau. Aku hanya mau jemput ibu kamu. Kami mau barengan ke rumah sakit."
"Ibu bisa berangkat sendiri, kok." Teguh terdengar semakin gusar.
"Kalo bisa barengan, kenapa harus sendiri-sendiri? Udah, jangan banyak protes, oke? Bye!"
Tisa sudah mematikan sambungan. Teguh kesal dan memilih memejamkan mata. Terserah jika nanti Tisa dan ibunya datang, ia takkan memedulikan mereka.
Entah sudah berapa lama Teguh terpejam dengan tubuh membelakangi pintu, namun ia dapat mendengar suara pintu ruang rawatnya dibuka. Di ruangan kelas satu yang menyediakan dua tempat tidur ini hanya ada satu pasien, yaitu dirinya. Ia yakin, yang datang adalah Tisa dan ibunya. Ia mendengar langkah perlahan memasuki ruangan. Dan terdengarlah suara itu.
"Kak...?"
Mata Teguh refleks terbuka. Membelelak heran. Ia segera berbalik. Dan di sanalah, di hadapannya, berdiri sang belahan hati, sang tumpuan asa, sang pemilik cinta.
"Rahma...?" Teguh menoleh ke pintu yang masih terbuka di belakang Rahma. "Kamu sendiri?" Sejujurnya, ia sempat khawatir Rahma datang bersama Bramantya meskipun tadi langkah kaki yang ia dengar hanya milik satu orang.
Rahma mengangguk. "Kak Teguh lagi tidur, ya? Maaf aku mengganggu."
"Nggak, kok. Aku nggak tidur."
Rahma tak berani menatap mata Teguh. Ia tak ingin tenggelam lagi di sana. Ia sudah berhasil keluar, bukan?
Rahma mengalihkan kekikukan dan keheningan di antara mereka dengan meletakkan sekantung jeruk yang ia bawa di maja sebelah Teguh. "Mudah-mudahan Kak Teguh suka jeruk yang aku bawa. Jeruk Medan."
Teguh tersenyum pedih. "Kamu masih ingat jeruk kesukaan aku."
Rahma berusaha tersenyum juga. "Kalau aku lupa, tandanya aku amnesia, Kak. Kayak sinetron aja."
Canda Rahma tak terdengar lucu di telinga Teguh karena sembilu tajam yang masih menancap di hatinya kembali terasa sakit. Tiba-tiba...
"Maaf, Rahma."
Sejujurnya, Rahma tak ingin mengorek luka sayatan di hatinya. Tapi naif jika ia berpikir, Teguh tak akan membukanya. Bahkan mungkin jangan-jangan ia datang menjenguk Teguh bukan karena peduli tapi karena ia masih menyimpan kecewa kepada Teguh. Biarlah kalau semua harus terbongkar hari ini di sini, entah bagaimanapun hasilnya. Apalagi Bramantya pun belum menyentuhnya. Bahkan saat Rahma berharap Bramantya mendatanginya, connecting door itu tak kunjung terbuka. Mungkin itu juga sebabnya kakinya tiba-tiba melangkah ke ruangan ini. Mungkin ada jawaban yang butuh ia cari.
"Rahma," panggil Teguh pelan.
"Ya?"
"Maaf, ya? Aku sadar, perpisahan mereka bukan perpisahan biasa, terlalu menyakitkan karena masih ada cinta. Terlalu menyakitkan karena aku... aku begitu rendah, seorang pengecut yang tak berani bicara apa adanya dengan dalih tak ingin mempermalukan kamu dan keluarga kamu, sehingga nekat meminta orang lain menggantikan posisi aku."
Mata Rahma berkaca-kaca. Adegan demi adegan malam pengajian dan hari pernikahannya tergambar di rongga kepalanya dengan sangat mendetail.
"Aku pikir, aku bisa hidup tanpa kamu, Rahma, maaf... maksudku, kalau kamu misalkan kemudian menerima Pak Bramantya sebagai suami kamu. Dan aku sadar, aku juga terlalu angkuh, karena jujur, aku sempat berpikir kamu akan memahami kondisiku dan akan menunggu aku, dan menolak Pak Bramantya."
Kali ini air mata Rahma jatuh. Yang ia ingat adalah pelukan Bramantya semalam. Kenapa itu yang justru ia ingat?! Hatinya kesal.
"Rahma, kamu hanya menikah pura-pura dengan Pak Bramantya, kan? Jujur sama aku, Rahma. Kamu masih ingin kembali sama aku, kan?"
Dan kali ini yang Rahma ingat adalah connecting door yang terus tertutup hingga Subuh. Apakah itu pertanda bahwa ia memang harus menunggu Teguh dan suatu saat kembali merajut asa bersama cinta pertamanya itu?
"Jawab dengan jujur, Rahma. Kalau iya, aku akan memperjuangkan cinta kita."
Rahma beranikan diri menatap Teguh. Bola mata mereka seakan berbicara. Teguh dengan penuh harap, Rahma entah dengan apa, Teguh tak dapat menerka. Ia seperti masih melihat cinta di sana, tapi sejujurnya, ia mulai tak yakin.
"Kak, sejujurnya, aku—"
Belum sempat Rahma menjawab, Teguh melihat ibunya sudah berdiri di pintu sambil berseru dengan mulut tajamnya. "Oh, ada mantannya Teguh di sini?!"
JRENG! Rahma segera memalingkan wajah dan menghapus air matanya sebelum menoleh ke Tutiek dan dengan sopan salim, mencium tangan perempuan yang sudah menghancurkan cita-citanya menikah dengan lelaki pujaan hatinya.

YOU ARE READING
ISTRI KETIGA
RomanceTAMAT! Terima kasih sudah sudi mengikuti perjalanan Rahma, Bramantya, Teguh, dan Najla. Terima kasih untuk yang sudah subscribe dan kasih bintang. Semoga Kakak-kakak selalu bahagia. Jangan lupa ikuti sequel-nya, BUKAN ISTRI KETIGA. SEGERA! *** Rahma...