Salam hangat. Maafkan saya yang baru sempat meng-update kelanjutan kisah Rahma, Najla, dan Bramantya ini. Semoga kalian masih sudi melanjutkan. Semoga hari kalian indah.
Rahma terbangun di sebuah kamar yang bukan kamarnya. Namun entah mengapa, senyumnya tersungging. Matanya langsung mengarah ke pintu ruang kerja alias kamar Bramantya. Lelaki itu sejak semalam menginap, setelah dua hari Rahma menempati rumah ini. Di kejauhan, terdengar adzan Subuh. Rahma segera bangkit dan keluar kamar. Matanya menatap haru seisi rumah.
Ia tak penah mendambakan bahkan membayangkan tinggal di rumah semewah ini. Tapi kini ia di sini. Dan ayah serta mamahnya kini tak perlu lagi bangun tengah malam untuk menyiapkan jualan gado-gado di tepi jalan. Rahma segera turun ke lantai bawah, hendak menemui ayah dan mamahnya.
Di kamar mereka, ia hanya menyemui mamahnya yang baru selesai berwudhu.
"Mah, Ayah mana?"
"Sudah berangkat ke Masjid dari tadi bareng Nak Bramantya."
Rahma terkesiap. Hatinya terasa hangat.
"Kita sholat berjammaah, yuk?" ajak Erma.
Rahma segera mengangguk. Mereka sholat berjammaah dengan Erma sebagai imam. Selesai berdoa, Rahma memeluk Erma.
"Mamah suka tinggal di sini?"
"Suka, Neng. Tapi... Ayah nggak betah."
Rahma terkejut. "Oh, ya? Kok Ayah nggak bilang apa-apa ke Neng?"
"Mana tega dia, Neng. Lihat kamu bahagia tinggal di sini aja, si Ayah suka ngembeng, pengen nangis."
Mata Rahma pun menghangat. Hatinya haru sekaligus iba.
"Ayah juga kangen jualan."
"Tapi, Mah, kata Mas Bram, Ayah jangan jualan lagi."
"Iya, Mamah paham. Nak Bram bermaksud baik. Tapi, Neng, bayangin, Ayah udah jualan sejak muda. Sekarang disuruh diam aja. Mana bisa?"
Rahma terdiam.
"Kata Ayah, dia mau bicara sama Nak Bram. Gapapa, ya, Neng?"
Rahma mengangguk. "Iya, Mah. Tujuan Neng ajak Mamah dan Ayah ke sini kan supaya bahagia. Kalau Ayah nggak bahagia, buat apa?"
Erma berdiri dan melipat mukenanya. "Bahagia, sih, tapi lemes, karena nggak ngapa-ngapain!"
Rahma tersenyum.
***
Pagi hari, Rahma berangkat ke apotek bersama Bramantya. Di mobil, Bramantya mencoba membangun obrolan karena sejak semalam, ia lebih sering bicara dengan Erma dan Bahrun ketimbang Rahma. Ia merasa rindu mengobrol dengan istri ketiganya yang lembut dan cerdas.
"Kamu udah dapat info soal perkuliahan?"
Bramantya tak tahu lagi harus membahas apa. Walaupun ia sedih karena harus membahas soal kuliah – yang Rahma jadikan sebagai alat tukar kebersamaan mereka, Bramantya terpaksa mengangkatnya.
"Udah, Mas. Saya udah daftar juga, nanti akan ada tes dan pendaftaran ulang."
"Kamu butuh berapa untuk uang pangkalnya?"
Rahma menelan ludah. "Belum tau. Nanti kalau sudah ada info lebih lanjut, saya kasih tau."
"Oke."
"Mas," panggil Rahma lembut, sebegitu lembutnya sampai Bramantya refleks menoleh. Hatinya bergetar. "Soal Pak Wira. Kemarin, Pak Wira telepon saya, katanya ada yang mau dibahas dengan Mas."
Bramantya kecewa karena yang Rahma bahas adalah masalah apotek, tapi ia manggut-manggut saja karena ia memang penasaran dengan permasalahan dalam bisnisnya ini.
"Kamu tolong buatin janji dengan Pak Wira. Kalau Pak Wira bisa, nanti siang kita berdua ketemu sama dia. Lunch meeting aja. Kamu pilih lokasinya."
"Saya ikut, Mas?"
Bramantya mengangguk. "Kan yang bermasalah paling besar adalah cabang Persada yang kamu pegang. Sebaiknya kamu tahu apa yang terjadi."
"Baik, Mas."
Lalu hening menguasai seisi mobil. Meskipun baik hati Bramantya maupun Rahma sama-sama tidak hening.
Rahma merasakan hal yang begitu hangat karena berada di sebelah suami sekaligus atasannya.
Sementara Bramantya menyimpan rindu yang kuat yang sudah lama ia tak rasakan kepada seorang perempuan namun juga rasa hati-hati agar tak jatuh tergelincir dalam perasaan tersebut karena ia yakin, Rahma masih di sisinya saat ini karena apa yang Bramantya miliki, bukan karena rasa cinta. Bramantya cukup merasa trauma dengan Lena. Ia tak ingin ada Lena kedua.
Ah, andai saja pasangan ini tahu apa yang masing-masing mereka rasakan.
***
Najla baru saja menemui dokternya dan menerima hasil pemeriksaannya yang terbaru yang tersembunyi di balik map besar di tangannya. Sambil melangkah menuju loby rumah sakit, ia kerap bergumam, nggak mungkin, ini nggak mungkin. Bahkan setelah sampai di loby, ia memutuskan untuk balik arah, kembali menuju ruang dokter langganannnya untuk sekali lagi memastikan.
Namun setibanya ia di depan pintu, plang nama sang dokter sudah tak terpampang di sana, tanda beliau sudah selesai praktek. Najla menghentikan seorang perawat dan memohon agar ia bertemu sang dokter lagi tapi ternyata saat ditelepon oleh Suster, dokter tersebut sudah dalam perjalanan pulang. Namun beliau bersedia bicara dengan Najla di telepon.
Najla ingin memastikan sekali lagi hasil tesnya. Ia ingin dites ulang.
"Bu Najla, saya rasa itu nggak perlu."
"Perlu, Dok," kilah Najla. "Dan saya ingin melakukannya di rumah sakit lain."
Sang dokter menghela napas dalam. "Silakan, Bu, yang pasti saya tidak akan mengubah diagnosa saya. Lagipula dokter radiologi juga sudah memberikan analisa yang Ibu bisa baca sendiri."
Najla sangat kesal mendengar ucapan sang dokter yang di matanya seakan meremehkan semua yang ia rasakan di tubuhnya. Bagaimana jika beliau salah dan penyakitnya tak tertangani dengan baik dan ia mati muda karena itu? Ia takkan pernah memaafkan dokter tersebut.
"Baik, Dok, nggak masalah. Saya akan cari second opinion."
Najla pergi dari sana dengan sangat emosi, bahkan air matanya menetes deras sehingga pengunjung rumah sakit, satpam, hingga dokter dan perawat lain yang melihatnya tampak sangat khawatir.

YOU ARE READING
ISTRI KETIGA
RomanceTAMAT! Terima kasih sudah sudi mengikuti perjalanan Rahma, Bramantya, Teguh, dan Najla. Terima kasih untuk yang sudah subscribe dan kasih bintang. Semoga Kakak-kakak selalu bahagia. Jangan lupa ikuti sequel-nya, BUKAN ISTRI KETIGA. SEGERA! *** Rahma...