SEMINGGU KEMUDIAN
Rahma baru saja selesai menghubungi Pak Wira via telepon. Menurut Bu Yana, semua cabang sudah berhasil mendapatkan pasokan dari pabrik Pak Wira walau memang ada kendala awalnya. Namun hanya stok cabang Persada yang masih terhambat. Rahma sudah berjanji kepada Pak Bram akan mengurus hal ini. Ia tak akan tinggal diam. Apalagi siang nanti ia sudah janjian dengan Pak Bram untuk makan siang bareng dan sudah pasti mereka akan membahasnya.
Ya, ini pertemuan pertama mereka setelah perbincangan yang berakhir membingungkan persis seminggu yang lalu. Entah akan sekikuk apa pertemuan nanti. Apakah lebih parah dari minggu lalu?
Tak terasa, senyum tersungging di bibir Rahma.
Setelah Pak Bram membahas tentang tidur terpisah, wajah pria itu merona. Dan tentu saja, wajah Rahma turut merona. Sebenarnya rasa panas di pipinya sudah terasa sejak ia menyatakan paham akan kewajibannya sebagai istri. Namun ucapan Pak Bram semakin memperjelas apa yang sedang mereka bahas secara implisit.
Dua orang dewasa dengan status hubungan yang sudah sah namun masih merasa kikuk membahas hal itu. Rahma tak habis pikir, bagaimana dengan mereka di luar sana yang terang-terangan mengumbar kegiatan yang harusnya menjadi rahasia di dalam kamar. Apakah menuliskannya atau memerankan adegannya tidak membuat mereka risih sendiri?
Entahlah, mungkin hanya Rahma yang masih terlalu kolot atau dunia yang sudah semakin tak ia pahami. Namun, baginya, kekikukan di antara dirinya dan Pak Bram justru terasa manis. Bahkan masih bisa membuatnya tersenyum hingga tujuh kali duapuluh empat jam semenjak peristiwa itu terjadi.
Setelah pesan dari Pak Bram masuk dan Rahma pamit kepada Uli, Rahma menunggu di depan apotek. Senyumnya refleks tersungging saat melihat mobil sang suami mendekat dan berdiri di depannya. Dari dalam mobil, Pak Bram membukakan pintu. Rahma masuk dan segera duduk.
"Assalamu'alaikum," sapanya lirih.
Bramantya menjawab tak kalah lirihnya. "Wa'alaikum salam."
Lalu mobil melaju. Mereka akan makan siang, lalu pergi melihat rumah yang Bramantya siapkan untuk Rahma. Rahma masih berusaha menolak ide itu, ia tak ingin pindah. Namun Bramantya kembali menegaskan, ia melakukan hal itu bukan untuk Rahma melainkan untuk dirinya sendiri.
Suasana makan siang terasa lebih santai justru karena mereka membahas hal di luar diri masing-masing, yaitu pekerjaan.
"Jadi, apa kata Pak Wira?" tanya Bramantya setelah Rahma cerita bahwa ia menelepon kolega mereka tersebut.
"Pak Wira bilang, beliau sedang menyelidiki salah seorang pegawainya di bagian distribusi karena ada banyak kejanggalan setelah mereka kerja sama dengan sebuah apotek baru di kawasan Pejuang."
Bramantya terkejut. "Di Pejuang? Punya siapa katanya?"
"Itulah, Pak, masih belum jelas. Pak Wira juga bilang, masih belum bisa memberitahukan lebih banyak dari itu."
Bramantya mengangguk-angguk. "Saya pernah membahas dengan Andi untuk buka cabang di dekat wilayah Pejuang tapi dia selalu menolak ide itu. Ternyata sekarang ada yang buka apotek di sana."
Rahma terdiam dan agak terkejut mendengar apa yang baru saja Pak Bram katakan. Ia teringat ucapan Pak Wira lainnya yang diminta untuk tidak disampaikan kepada Pak Bram dulu karena Pak Wira masih menyelidiki lebih lanjut, "Saya rasa, ada keterlibatan orang dalam di jaringan apotek Pak Bram, tapi saya belum berani memastikan."
"Siapa, Pak?" tanya Rahma.
Dengan ragu-ragu, Pak Wira menjawab, "Andi. Tapi semoga saya salah. Dia kepercayaan Pak Bram di Cabang Mulya, kan?"

YOU ARE READING
ISTRI KETIGA
RomanceTAMAT! Terima kasih sudah sudi mengikuti perjalanan Rahma, Bramantya, Teguh, dan Najla. Terima kasih untuk yang sudah subscribe dan kasih bintang. Semoga Kakak-kakak selalu bahagia. Jangan lupa ikuti sequel-nya, BUKAN ISTRI KETIGA. SEGERA! *** Rahma...