30. Mencintai Istri Orang

2.9K 244 11
                                    


Mobil Bramantya tiba di depan rumah Lena. Mendengar suara klakson, Iyah sang ART tergopoh-gopoh membukakan gerbang dengan wajah tegang karena memang sudah sejak tadi suasana di rumah terasa begitu mencekam.

Melihat gerbang terbuka, Bramantya justru merasa enggan untuk masuk. Di kepalanya sudah terbayang perang yang akan terjadi antara dirinya dan Lena. Namun di satu sisi, mungkin ini sudah jalannya. Mungkin ini bisa menjadi momentum untuk mengajukan cerai atas Lena. Sebenarnya ia tidak tega kepada Fadhil, tapi ia sudah benar-benar lelah berada di bawah bayang-bayang kesintingan Lena.

Bramantya keluar dari mobil dengan tekad bulat, melangkahkan kaki ke dalam rumah dengan berbagai skenario dan kemungkinan dialog di dalam kepala yang sengaja ia persiapkan untuk menghadapi Lena.

Rumah tampak kosong. Tak ada tanda-tanda keberadaan Lena. Fadhil pun tak menyambutnya. Hanya ada Iyah yang kembali tergopoh-gopoh ke pintu rumah sambil mengangguk sopan dan ketakutan ke arah Bramantya dan segera keluar dan menutup pintu di belakangnya.

Apa-apaan ini? Kenapa tak ada orang? Apakah Lena sengaja meninggalkannya? Atau Lena ingin rumah kosong karena memang ia persiapkan sebagai medan perang?

"Mas Bram?" panggil sebuah suara dengan nada yang mengejutkan Bramantya.

Bramantya menoleh. Tampak Lena keluar kamar dengan wajah tersenyum. Tadi pun ia memanggil dengan lembut. Bramantya tidak siap dengan skenario seperti ini. Bukan begini adegan yang ia bayangkan tadi. Ia pikir Lena akan berteriak histeris, akan marah sejadi-jadinya. Tapi ini ...?

"Aku sudah siapin makanan. Kita makan malam dulu, ya? Fadhil lagi main ke rumah temannya. Iyah mungkin sudah lagi jalan untuk jemput." Lena menggamit lengan Bramantya dan membawanya ke meja makan.

Terhampar semua makanan kesukaan Bramantya. Bramantya menoleh heran ke arah Lena di sebelahnya. Lena tersenyum, mendudukkan Bramantya di bangku, lalu mengambilkan nasi dan lauk. Kemudian Lena duduk di hadapan suaminya itu.

"Silakan makan, Mas. Memang bukan aku yang masak, tapi semua aku pesan dari resto favorit Mas."

Bramantya kesal dengan sikap Lena karena ia tidak siap menghadapi Lena yang seperti ini. Walau begitu, keputusannya sudah bulat.

"Lena, besok aku akan mengajukan gugatan cerai."

Lena malah tersenyum. "Nggak usah buru-buru, Mas. Aku tau, Mas baru aja menikah lagi tadi, kan? Sampaikan maafku ke Rahma dan keluarganya, juga ke Kak Najla, karena tadi sudah mengamuk di sana." Lena menghela napas. "Sungguh, aku malu dengan sikap aku, Mas. Mas mau memaafkan aku, kan?" Lena menatap Bramantya dengan mata sayu penuh penyesalan.

Ia yakin, Bramantya akan mengurungkan niat untuk menceraikannya. Apalagi ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyenangkan lelaki di hadapannya ini. Bramantya pasti akan melupakan rencananya untuk bercerai.

***

Rahma melirik makan malam yang di bawakan Bi Iim ke kamarnya tadi. Makanan sebelumnya saja tidak ia sentuh, sudah dibawakan makanan baru.

"Mungkin si Neng nggak suka yang tadi. Jadi Bi Iim bawakan ini. Enak, Neng. Jamin!"

Rahma hanya tersenyum, berusaha bersikap sesopan mungkin kepada Bi Iim yang baik hati, sebelum wanita itu keluar kamar.

Sejak tadi, satu sisi, Rahma ingin bicara dengan seseorang. Namun di sisi lain, ia ingin mengunci diri dari apapun di luar sana. Amarahnya terhadap Kak Teguh. Rasa bersalahnya kepada Ayah dan Mamah. Sedikit kekesalannya kepada Bu Najla. Kekecewaan sekaligus entah perasaan apa lagi – mungkin rasa terima kasih karena sudah menyelamatkan wajah kedua orang tuanya tadi – atas diri Pak Bramantya. Semua bercampur aduk. Ah, belum lagi soal Bu Lena. Entah apa yang sudah terjadi tadi di rumahnya saat perempuan itu datang.

Ketika itu ponselnya berbunyi. Ada telepon masuk. Rahma menatap benda yang ia letakkan jauh di meja terujung. Ia enggak mengambilnya semenjak tadi ia batal menelepon Teguh.

Dengan langkah gontai, Rahma mendekati ponselnya, memeriksa, dan ternyata yang menelepon adalah mamahnya.

"Assalamu'alaikum."

Erma merasa lega mendengar suara putri semata wayangnya. "Wa'alaikum salam. Neng! Ya Allah. Neng di mana?"

"Di rumah Pak Bram, Mah. Mamah jadinya ke rumah siapa tadi?"

"Mamah dan Ayah di rumah Wak Inong. Besok pagi pulang. Neng pulang juga?"

"Nggak tau, Mah."

Erma menahan sedih. "Kenapa jadi begini ya, Neng? Iya, memang, kata orang mah qadarullah, tapi Mamah enggak habis pikir. Tadi, istri kedua Pak Bram kata Tante Delia datang dan ngamuk-ngamuk. Untung Bu Najla balik lagi, Neng. Akhirnya perempuan itu pergi juga."

Rahma hanya manggut-manggut. Sudah ia duga Bu Lena akan bersikap begitu. "Ayah mana, Mah?"

"Ini. Yah, Rahma mau bicara."

"Assalamu'alaikum, Neng. Neng baik-baik aja?"

"Iya, Ayah. Neng gapapa. Ayah gapapa?"

Bahrun tersenyum sedih. "Gapapa, Neng. Jangan lupa makan, ya? Ayah nggak mau Neng sakit."

Rahma melirik makanan dari Bi Iim. "Iya, Ayah. Ini sudah disiapin makanan di sini."

"Neng di sana sama ... sama Bram?"

"Enggak. Pak Bramantya tadi sudah pergi ke rumah Bu Lena."

"Oh. Neng sendiri?"

"Ada dua orang sodara Pak Bram yang jaga rumah."

Bahrun ingin bertanya, apakah Rahma sudah berhasil menghubungi Teguh tapi ia tak tega. "Ya sudah, Neng makan dan istirahat, ya?"

"Iya, Ayah. Ayah juga, istirahat.

"Iya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Rahma menghentikan sambungan telepon. Tak terasa, air matanya menetes. Satu per satu, lalu menderas. Ia sedih mendengar suara kedua orang tuanya yang begitu lemah padahal semestinya mereka sedang berbahagia mala mini karena telah menikahkan anak tercinta mereka. Ia marah kepada Teguh. Sangat marah.

***

Teguh memilih menumpang di musholla dekat rumah Bi Neneng. Karena sesungguhnya, ia memiliki sejumput amarah yang berusaha ia halau namun selalu datang lagi dan lagi. Amarah berbalut kekecewaan terhadap ibunya.

Seperti anak kecil, ponselnya masih dipegang Ibu. Andai ia punya uang lebih, sudah ia beli ponsel bekas dan menelepon Rahma. Nomor telepon wanita itu selalu terpatri di kepalanya. Ia hapal nomor Rahma berapa kali pun ia menggantinya.

Apakah Rahma sudah menikah dengan Pak Bramantya? Air mata Teguh menggenang dan menetes, namun buru-buru ia halau. Malu jika sampai ketahuan menangis. Di musholla ini ia tak sendiri. Di dalam masih ada sekelompok anak muda sedang taklim. Mereka mengajak Teguh serta. Biasanya ia semangat menimba ilmu agama, tapi kali ini jiwanya sedang kalut. Lebih baik ia di teras, memandangi langit yang menggantungkan banyak bintang. Tak seperti hatinya, yang tak dapat lagi menjadi tempat baginya menggantungkan harap.

Karena, jika Rahma memang sudah menikah dengan Pak Bramantya, maka ia harus menghapus perasaannya. Tak baik mencintai istri orang. Meskipun perempuan itu hampir pernah menjadi istrinya.

Namun, mampukah ia menghapus perasaan yang sudah sepuluh tahun bersemayam di hatinya ini? Entah. Teguh mengangkat bahunya yang kemudian segera meluruh kembali.

ISTRI KETIGAWhere stories live. Discover now