8. Perempuan Itu Bernama Rahma

3.1K 210 0
                                    

Saat makan malam berlangsung, Bramantya tampak tak bersemangat. Lena sebaliknya. Ia tampil sangat ceria. Bramantya menanggapi celoteh Lena sekenanya saja. Kalaupun ia ingin makan malam romantis, bukan dengan Lena, melainkan dengan Najla. Andai Fadhil tidak terlanjur lengket dengannya, mungkin Bramantya sudah mengajukan perpisahan beberapa waktu silam.

Fadhil, balita yang dulu Najla pikir diurus dengan baik oleh Lena padahal ternyata sebaliknya, sangat menyayangi Bramantya. Ia benar-benar membutuhkan figure ayah. Bramantya tak sampai hati jika harus meninggalkan Fadhil. Karena, Bramantya tahu betul, Lena tidak terlalu memedulikan anak kandungnya itu.

Lena tidak mengurus Fadhil seperti Najla mengurus kedua anaknya, Nabil dan Icha. Dan absurdnya, alasan Najla menyuruh Bramantya menikah lagi dengan Lena adalah agar nanti jika Najla diambil lebih dulu oleh Sang Pemilik Kehidupan, Lena akan mengurus Nabil dan Icha. Bramantya mendengus kesal, yang ada Lena hanya akan menjadi ibu tiri yang kejam seperti dalam drama.

"Mas," panggil Lena lembut.

Bramantya teralih pikirannya. "Ya?"

"Ada yang ingin aku bicarakan."

"Tentang?"

"Fadhil."

Lena tahu betul, Fadhil adalah kelemahan Bramantya. Selama ini, apapun permintaan Fadhil, Bramantya akan menuruti. Berbagai jenis gadget dan mainan, Fadhil punya. Tentu Bramantya selalu memastikan, Nabil dan Icha juga memiliki hal yang sama. Adil itu penting baginya.

Karenanya, saat Lena mengajukan ide tentang tanah itu, Bramantya terkejut bukan main. Bukan lagi gadget dan mainan, tapi sebidang tanah! Meskipun diucapkan dengan nada yang sangat lembut menggoda, tak urung, Bramantya menanggapinya dengan emosi.

"Kamu nggak salah, Lena?"

"Maaf, Mas, kalau aku lancang, tapi ini sekadar usul, sekaligus investasi."

"Investasi? Atas nama kamu untuk nantinya diberikan ke Fadhil saat ia usia delapanbelas tahun?"

Lena mengangguk dengan gerakan yang dimanja-manjakan. Bramantya menggeleng. Mau semanja apapun gerakanmu, aku tak akan terpengaruh, omel Bramantya dalam hati.

"Sori, aku nggak bisa kasih itu."

"Tapi, Mas, ini buat masa depan Fadhil. Mas dan Kak Najla kan pasti sudah merencanakan masa depan Nabil dan Icha. Ya, kan?"

Bramantya menggeleng. "Belum. Aku dan Najla hanya menyiapkan tabungan yang sama dengan yang kita siapkan untuk Fadhil. Selebihnya mengenai masa depan mereka, aku serahkan kepada Allah Sebaik-baik Penjaga. Dan tolong, jangan kamu bahas lagi hal ini kalau kamu nggak mau aku berpikir kamu sedang berusaha mengeruk hartaku."

Lena membelalak. "Astaghfirullahal'adzim. Enggak lah, Mas, masa Mas berpikir begitu?"

"Justru itu, jangan sampai aku berpikir begitu tentang kamu."

Lena terkesiap. Sial, kenapa bisa jadi begini? Lena merutuki kebodohannya, juga kebodohan Iyah yang tidak becus menjaga Fadhil sehingga mengamuk begitu di saat yang tidak tepat dan menghancurkan mood Bramantya! Sungguh Lena tak mengangka Bramantya akan menolak mentah-mentah permintaannya.

Tapi kemudian, Lena teringat ucapan Andi tentang pegawai baru di apotek cabang tempat Andi bekerja. Jangan-jangan Bramantya sudah kepincut karyawan baru itu sehingga ia tak lagi mempan dirayu? Mungkin saja, kan, Bramantya berniat menambah istri lagi. Toh terhadap Najla yang katanya sangat Bramantya cintai saja, Bramantya bisa berpaling kepada seorang Lena.

Lena tampak gelisah. Ia harus mencari tahu tentang perempuan itu. Siapa namanya, kata Andi waktu itu, Rahma?

***

Rahma baru saja selesai membereskan apotek sebelum pulang. Ia sendiri. Andi dan Bu Yana sudah pulang lebih dulu. Ia memeriksa pesan-pesan di ponselnya. Tak ada kabar dari Teguh hari ini, itu berarti sudah tiga hari tidak ada komunikasi di antara mereka. Biasanya tak pernah selama itu.

Tapi kali ini Rahma sedang tak ingin lebih dulu menyapa. Meskipun rindu, meskipun penasaran, ia menahan diri. Mungkin seperti Bahrun, ayahnya, Rahma ingin mengetes, sejauh mana Teguh memprioritaskan dirinya. Tiga hari ini, Rahma semakin tak yakin, ia berada dalam daftar prioritas kehidupan Teguh.

Rahma mengunci rolling door apotek, lalu berbalik dan Rahma sangat terkejut. Ternyata Teguh sudah berada di depan sana, dengan motornya. Tadi saat ia keluar, ia tak melihat ada siapapun di depan apotek. Teguh tersenyum. Rahma pun terbawa, ikut menyunggingkan bibir.

"Ayo, aku antar pulang." Teguh menepuk Joker motornya.

Tapi bersamaan dengan itu, Bahrun tiba di sana. Rahma tersadar. Ia sudah menerima tawaran ayahnya untuk menjemput pulang. Padahal biasanya Rahma pulang naik angkot.

"Eh, Ayah." Teguh dengan sopan turun dari motor dan salim ke Bahrun.

"Kamu ngapain ke sini, Guh?" tanya Ayah dengan tatapan curiga, karena memang Ayah tak terlalu suka jika Rahma pergi berduaan saja dengan Teguh.

"Ini, Ayah, tadi Teguh pas lewat sini, ternyata Rahma lagi pas keluar. Sudah mau pulang, ya?" Teguh tampak kikuk, tapi berusaha tersenyum lebar.

Rahma menahan tawa. Entah kenapa, tiap kali mereka hampir pergi berduaan, selalu saja terjadi sesuatu yang menghalangi. Itulah salah satu sebab mengapa walau sudah sepuluh tahun bersama, mereka tak pernah berduaan.

"Iya, Kak, sudah jam sembilan malam." Rahma menjawab sambil melangkah menuju motor Bahrun.

"Mau mampir ke rumah, Guh?" tanya Bahrun.

Teguh menggeleng. "Nggak, Ayah, makasih, sudah malam. Kapan-kapan saja nanti saya main ke rumah."

"Ya sudah, saya bawa Rahma pulang dulu. Kamu hati-hati."

"Baik, Ayah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam," Bahrun dan Rahma menjawab bersamaan.

Setelah yakin Rahma sudah duduk manis di jok belakang, Bahrun melajukan motornya. Teguh menatap mereka menjauh dari pandangannya. Padahal ia berharap, ia bisa mengantar Rahma pulang dan paling tidak selama perjalanan, mereka bisa berbincang. Ia perlu membahas sesuatu dengan Rahma. Karena ia merasa hubungan mereka semakin renggang dan renggang saja. Teguh tak ingin pisah dari Rahma. Tapi ia tak bisa membohongi hati kecilnya, entah mengapa, ia merasa bisa-bisa ia akan segera kehilangan Rahma, perempuan yang sangat ia sayangi.

Teguh menghela napas, lalu memutar balikkan motornya ke arah rumahnya, lalu melaju pergi membelah kegelapan malan dengan lampu motornya.

ISTRI KETIGADonde viven las historias. Descúbrelo ahora