Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Teguh baru saja selesai mengerjakan tugas kuliahnya. Lelah, tapi ia ingin cepat menyelesaikan S1-nya. Ia ingin cepat mempersembahkan gelar itu kepada ibunya dan ia pun ingin segera memenuhi janjinya untuk menikah dengan Rahma. Teguh mematikan dan menutup laptopnya. Ia meraih ponsel yang tergeletak di sebelah laptop, lalu merebahkan diri di tempat tidur.
Ia membuka aplikasi chat, ingin mengirimkan pesan untuk Rahma. Mungkin Rahma sudah tidur, tapi tak apa, pesannya pasti akan dibuka Rahma saat tahajud nanti.
Hai, sudah tidur, ya? Semoga lelap tidurmu. Tidurku pasti akan lelap karena tadi sudah melihat wajahmu.
Lalu Teguh tersenyum dan meletakkan ponsel di sebelah bantal. Ia bersiap memejamkan mata. Tapi baru sedetik matanya menutup, ada pesan masuk. Teguh segera membuka kembali kedua matanya dengan penuh harap dan bergegas meraih ponsel, dan benar saja – senyum terkembang di bibir Teguh – ada balasan dari Rahma.
Hai, aku belum tidur, Kak.
Teguh segera membalas.
Teguh: Kok belum tidur?
Rahma: Nggak bisa tidur.
Teguh: Sama. Aku kangen.
Rahma: Sama.
Teguh: Bisa telepon?
Rahma: Nggak bisa. Takut Ayah dan Mama terbangun nanti.
Teguh: Oh, ya sudah. Di apotek bisa aku telepon, nggak?
Rahma: Nggak yakin, Kak. Aku sibuk banget. Maklum, apotek besar. Tapi nanti kalau ada waktu senggang, aku kabarin ya.
Teguh: Oke, ya udah kamu bobok ya.
Rahma: Kak Teguh juga. Met bobok.
Teguh: Met bobok juga, sayang.
Teguh melihat Rahma telah membaca, tapi tak lagi membalas, tak lagi online. Gadis kesayangannya pasti sedang tersenyum di sana. Rahma tak pernah membalas ucapan sayang, malu katanya. Tapi rasa malu kekasihnya itulah yang membuat Teguh semakin sayang. Ia yakin, Rahma takkan mungkin bisa bergenit-genit dengan siapapun. Bahkan dengan dirinya saja, Rahma sangat malu.
Walau begitu, beberapa waktu belakangan, jarak di antara mereka membuat Teguh merasa seperti orang parno. Mereka tak lagi membahas tentang harapan mereka untuk menikah. Seakan pernikahan kini menjadi hal tabu untuk mereka angkat.
Tuntutan ayah Rahma dan keinginan ibu Teguh begitu bertolak belakang. Andai Teguh tidak cukup lama mengenal ayah Rahma, ia pasti sudah mengira, Rahma akan dijodohkan dengan pria lain. Tapi Teguh tahu betul, ayah Rahma bukan hanya lelaki yang memegang prinsip, tapi juga sangat menyayangi Rahma. Ia pasti menginginkan apa yang Rahma inginkan dan Teguh cukup optimis, yang Rahma inginkan adalah dirinya.
Hanya saja, perasaannya kian hari kian tak tenang. Ia takut kehilangan Rahma.
***
Hari-hari Rahma di apotek semakin menyibukkan. Bahkan istirahat pun ia hanya sempat makan sebentar, sholat tanpa doa panjang. Sehingga, jangankan melakukan sambungan telepon dengan Teguh, mengirimkan pesan saja kadang tak sempat.
"Lo ngerti nggak, sih, banyak pelanggan, mana banyak juga yang telepon! Jangan kelamaan dong makannya. Gue kan juga harus bantu Bu Yana di belakang. Yang efektif dong, ah, istirahatnya."
Rahma hanya bisa mengangguk dan meminta maaf jika Andi sudah mengomel panjang lebar begitu. Bu Yana yang sakitan tak bisa membela Rahma, hanya sesekali mengingatkan Andi.

YOU ARE READING
ISTRI KETIGA
RomanceTAMAT! Terima kasih sudah sudi mengikuti perjalanan Rahma, Bramantya, Teguh, dan Najla. Terima kasih untuk yang sudah subscribe dan kasih bintang. Semoga Kakak-kakak selalu bahagia. Jangan lupa ikuti sequel-nya, BUKAN ISTRI KETIGA. SEGERA! *** Rahma...