Sesaat Rahma dan Tutiek saling berpandangan. Melihat tatapan sopan Rahma, Tutiek memalingkan wajah. Sementara Teguh hanya bisa memandangi mereka berdua dengan mata yang tak dapat Rahma tebak. Sepertinya, lagi-lagi Teguh kesulitan memilih siapa yang harus ia bela.
Rahma tidak heran, toh dia kini bukan siapa-siapa Teguh lagi.
Sambil mengusahakan senyum setulus mungkin, Rahma berpamitan. "Kak Teguh, Ibu, saya pamit. Semoga Kak Teguh lekas sembuh dan Ibu sehat selalu." Rahma mengeluarkan vitamin dan beberapa produk suplemen kesehatan. "Aku ke sini hanya mau antar ini, Kak. Suami aku, Mas Bram, tadi titip salam dan minta maaf nggak bisa ikut menjenguk Kak Teguh. Mari, Ibu, saya permisi. Assalamu'alaikum."
Rahma melangkah keluar ruang rawat Teguh. Langkahnya tegap, pasti, penuh keyakinan. Seyakin hatinya bahwa ia telah menentukan pilihan.
Tutiek mencibir kesal. "Mau nyombong aja ke sini."
"Ibu..." tegur Teguh.
"Apa? Kamu nggak sadar? Dari penampilannya, Rahma sudah berubah. Dia mau menunjukkan bahwa dia sudah kaya raya jadi istri ketiga pengusaha itu. Sok bawain vitamin dan suplemen. Cih!"
"Bu!"
Tutiek buang muka, tak mau meladeni Teguh saking emosinya.
Teguh terdiam. Rahma masih sederhana seperti dulu, tapi harus ia akui, Rahma tampak lebih terawat. Mungkin karena ia tak harus naik-turun angkot seperti dulu atau membonceng ojek... bahkan membonceng motor Teguh, yang kadang mereka harus menerjang hujan atau kabut asap kendaraan. Namun, tadi Rahma ingin mengatakan sesuatu sebelum Ibu datang? Seakan ia ingin memintaku menunggu. Tapi kenapa dia bawa-bawa nama Pak Bram? Tunggu! Rahma memanggilnya Mas Bram?!
***
Sambil berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh ke pipi, Rahma buru-buru melangkah menjauhi pintu ruang rawat Teguh. Hingga selepas beberapa langkah, ia berpapasan dengan Tisa. Langkah Rahma terhenti. Pun langkah Tisa. Mereka berhadapan. Hati Rahma bergejolak, tak nyaman. Dan hal itu, oleh Tisa, terlihat di rona wajah pesaingnya tersebut.
Tisa segera menguasai diri dan pura-pura santai, seakan dia tak cemburu, padahal darahnya mendidih. Mungkin api yang menyala di tungku hatinya lebih besar dibandingkan Rahma.
"Hai, Rahma! Habis jenguk Teguh? Tenang aja, ada gue! Dan Teguh baik-baik aja, kok. Dia ditangani dokter-dokter terbaik di sini. Biasa, pasien titipan ortu gue. Kebetulan mereka ada saham di sini."
"Alhamdulillah kalo gitu. Aku duluan." Rahma tak sanggup berkata-kata lebih banyak dari itu, khawatir air matanya menetes tak terbendung lagi.
Tisa tersenyum. "Oke! Hati-hati!" Namun setelah Rahma tak lagi melihat ke arahnya, Tisa menatap dengan wajah dibakar cemburu. Rahma, lo serakah karena masih menginginkan Teguh! Bukannya lo udah bahagia dengan suami kaya raya lo itu?!
Persis saat Rahma tiba di loby rumah sakit, sebuah taksi berhenti menurunkan penumpang. Rahma buru-buru mengambil alih taksi tersebut. Dan belum sampai taksi itu keluar dari halaman rumah sakit, air mata Rahma sudah tumpah. Pengemudinya, yang seorang perempuan, menyodorkan kotak tisu ke belakang.
"Terima kasih," jawab Rahma lirih.
Sang pengemudi hanya tersenyum dan mengangguk, tak mengatakan apapun, tak bertanya. Rahma lega, ia bukan tipe orang yang bisa bercerita kepada orang yang tak dikenal meskipun orang tersebut sangat baik. Ia hanya ingin menangis. Tangisan yang mungkin sudah sejak tadi tumpah andai pertahanan dirinya tidak sekuat itu.
Nada Tutiek saat berkata, oh, ada mantannya Teguh di sini?!, terasa begitu mengiris-iris hatinya. Dan ucapan Tisa, Tenang aja, ada gue!, seakan hendak mendorongnya menjauh dari sisi Teguh.
Ingin ia mengatakan kepada mereka berdua, bahwa kedatangannya menjenguk Teguh sebenarnya karena ia memang hendak meminta Teguh melupakannya. Kata-kata yang tidak tega ia ucapkan kepada lelaki berwajah pucat tadi, lelaki yang dulu pernah ia gadang-gadang sebagai pendampingnya hingga masa tua. Namun kini ia menyesal karena tidak mengatakan kepada Teguh bahwa ia sudah tidak mengharapkan bisa kembali dengan Teguh lagi. Ia memilih Bramantya. Ia tak ragu lagi.
***
Tutiek masih kesal karena Rahma berani-beraninya datang menjenguk Teguh. Namun ia harus menghalau kekesalannya karena tiba-tiba tadi dokter yang menangani Teguh memanggilnya ke ruang praktik.
"Ada apa ya, Dok? Apa anak saya sudah boleh pulang? Kelihatannya, dia sudah membaik."
Sang dokter menyunggingkan senyuman sedih, seakan ada kata maaf terpancar dari matanya. Perasaan Tutiek mulai tidak enak namun ia memilih diam. Dokter tersebut mengeluarkan hasil cek lengkap kesehatan Teguh seperti permintaan Tisa dan menyodorkannya kepada Tutiek. Tak memahami apa isi pemaparan dan hasil USG di hadapannya, Tutiek hanya bisa mengerutkan kening, lalu menatap dokter tersebut.
"Anak saya baik-baik saja kan, Dok?"
Dokter tersebut menggeleng. "Maaf, Ibu. Hasil pemeriksaan anak Ibu cukup mengkhawatirkan."
DEG! Tutiek terbelalak. Terlebih saat dokter tersebut menjelaskan dengan detail, air mata Tutiek tumpah ruah tak terbendung. Ia menggeleng dan terus saja berkata, "Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin, Dok! Nggak mungkin!!!"
"Ibu tenang dulu. Masih ada pemeriksaan lain untuk menegakkan diagnosa. Bisa saja ini salah." Dokter berusaha menenangkan Tutiek.
"Ini pasti salah! Pasti salah!"
***
Dalam perjalanan, di taksi, Rahma mengirimkan pesan kepada Bramantya.
Rahma: Mas, maaf, aku baru saja melakukan tindakan yang mungkin di mata Mas sebuah kesalahan.
Bramantya: Maksud kamu?
Rahma: Setelah kuliah, aku nggak langsung ke apotek. Barusan aku jenguk Teguh di Rumah Sakit. Maaf, Mas, aku nggak izin dulu sama Mas.
Di ruangannya, Bramantya terenyak. Ia cemburu. Mungkin marah. Lalu masuk lagi pesan dari Rahma.
Rahma: Aku mau telepon... boleh?
Bramantya: Maaf, aku lagi sibuk. Nanti aja, ya, aku yang telepon.
Tubuh Rahma lemas. Ia yakin, Mas Bram marah. Tapi jika ia tak cerita, hatinya pun tak tenang. Mungkin ia bodoh karena cerita, tapi ia sudah memilih Mas Bram dan suaminya itu harus tahu, bahwa di hatinya sudah tak ada Teguh lagi. Namun, kini ia menyesal telah mengatakannya lewat pesan seperti itu. Menyadari hal itu, sontak dadanya sesak dan matanya berkaca-kaca.

DU LIEST GERADE
ISTRI KETIGA
RomantikTAMAT! Terima kasih sudah sudi mengikuti perjalanan Rahma, Bramantya, Teguh, dan Najla. Terima kasih untuk yang sudah subscribe dan kasih bintang. Semoga Kakak-kakak selalu bahagia. Jangan lupa ikuti sequel-nya, BUKAN ISTRI KETIGA. SEGERA! *** Rahma...