24. Mencincang Teguh

2.5K 206 9
                                    

Rahma sudah di hadapan cermin di kamarnya. Matanya terpejam. Perias Tante Delia entah sudah melakukan apa ke wajahnya. Ia tak peduli. Ia hanya berharap, orang suruhan ayahnya sudah tiba di rumah Teguh dan memastikan Teguh hadir nanti.

Sejak Subuh, Rahma kembali berusaha menelepon Teguh tapi tak ada hasil. Karenanya, Bahrun mengirim salah seorang anak tetangga menuju rumah Teguh.

Awalnya Rahma sudah menolak untuk dirias, paling tidak sampai ada kabar dari Teguh. Tapi melihat mamahnya menangis tiada henti, Rahma akhirnya menurut juga saat Tante Delia membujuknya

Rahma tidak tahu, di luar, orang suruhan Bahrun sudah tiba kembali.

"Ayah, rumah Kak Teguh kosong. Kata tetangganya, mereka berangkat ke Garut Subuh tadi buat nyekar ke makam bapaknya Teguh."

Seketika, jantung Bahrun seakan berhenti. Pandangannya gelap dan berkunang-kunang. Mungkin ia sempat terjatuh karena si anak tetangga dan beberapa kerabat yang sudah hadir memeganginya.

Najla baru saja tiba di sana dan terkejut melihat Bahrun yang limbung. "Ya Allah, Bapak kenapa?"

Si anak tetangga dan yang lainnya saling pandang, tak berani menjawabkan untuk Bahrun. Najla segera merasakan ada yang gawat di sana.

"Ambilin air buat Pak Bahrun!" suruh salah seorang kerabat.

Si anak tetangga bergegas masuk.

Najla semakin penasaran, tapi bertanya kepada ayah Rahma yang tampak sedang syok berat itu tampaknya bukan hal yang bijak untuk dilakukan.

Si anak tetangga kembali dengan segelas air Putih yang diminumkan sang kerabat kepada Bahrun.

"Jadi, gimana, Ayah? Kak Teguh mau disusul ke Garut atau gimana?"

Najla membelalak. Menyusul Teguh ke Garut?

Bahrun menggeleng.

Sang kerabat mendesak. "Tapi kalau nggak disusul, nggak dibawa ke sini, gimana pernikahan Rahma?"

Bahrun masih belum bisa bicara, ia hanya menggeleng lagi.

Najla menatap semua dengan bingung. Namun dari obrolan mereka yang ada di sana, ia memahami apa yang tengah terjadi. Ia pun segera melipir.

Najla merasa sangat iba kepada Rahma dan keluarganya. Teringat saat mereka bertemu di rumah Delia, mamah Rahma tampak begitu bahagia. Najla tak bisa menanggung semua sendiri. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu mencari tempat yang agak sepi.

Tak lama kemudian terdengar suara di ujung sana. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam. Mas Bram, kasihan banget Rahma dan orang tuanya."

Bramantya yang baru saja memasukkan peralatan golfnya ke bagasi mengernyit. "Kenapa mereka? Kamu sudah di sana?"

"Iya, kan tadi sebelum Mas berangkat golf, aku sudah bilang mau datang duluan, mau bantu-bantu. Tapi ternyata-"

"Ternyata apa?" Bramantya masuk ke mobil dan menyalakan mesin.

"Teguh, calon suami Rahma, benar-benar menghilang. Kata yang tadi menyusul ke rumah Teguh, katanya Teguh dan ibunya malah berangkat ziarah ke makam bapaknya di Garut tadi Subuh."

Bramantya tercenung. "Ya Allah!"

"Gimana ini, Mas? Ayahnya Rahma sampai semaput." Najla melirik ke arah rumah dan masih melihat Bahrun terbengong-bengong dikelilingi para tetangga dan kerabat. "Kayaknya Rahma belum dikasih tahu deh, Mas."

Bramantya teringat ucapan Teguh semalam. "Kalau Bapak tidak keberatan, gantikan saya. Jadikan Rahma istri ketiga Bapak." Ingin rasanya ia menonjok lelaki pengecut yang telah nekad menyuruhnya melakukan hal itu. Dan sekarang, Bramantya benar-benar ingin mencincangnya!

          

"Mas, gimana ini?" terdengar suara Najla di ujung sana.

"Sebenarnya, Teguh semalam sudah bicara sama aku."

Najla terkejut. "Bicara? Bicara apa? Soal dia nggak mau datang, dia nggak mau nikah?!"

Bramantya melajukan mobilnya keluar parkiran padang golf dan menceritakan semua kepada Najla dalam perjalanan pulang.

***

Rahma sudah selesai dirias. Tante Delia pun membantunya mengenakan gaun pengantin pilihan gadis yang wajahnya begitu pias. Tante Delia berusaha tak menghela napas iba, karena biasanya yang ia hadapi adalah para mempelai wanita yang ceria dan bahagia, tapi kini berbeda.

Terdengar ketukan pintu di depan kamar Rahma. Rahma segera menoleh. Tante Delia selesai membantunya. Kini Rahma sudah tampak cantik dengan riasan dan gaun indahnya - andai wajahnya bisa sedikit tersenyum.

Erma membukakan pintu. Wajah Bahrun tampak pucat pasi. Rahma menyadarinya.

"Ayah kenapa?"

Bahrun masuk dan menutup pintu di belakangnya, lalu memandangi wajah putri semata wayangnya sembari menahan air mata.

"Ayah jangan bikin takut, dong. Ada apa, sih?" tanya Erma. "Teguh? Udah datang dia?" Tapi Bahrun malah limbung.

"Ayah!!!" Rahma dan Erma segera menyambar tubuh Bahrun, lalu mendudukkannya di bangku yang tadi ditempati Rahma saat dirias.

Kembali terdengar ketukan di pintu. Rahma dan Erma saling pandang. Lalu Erma menoleh ke Tante Delia yang masih bersama mereka di kamar yang berukuran sangat sempit itu. Tante Delia segera membuka pintu. Tampak oleh mereka Najla berdiri di sana.

"Saya boleh masuk?"

Rahma mengangguk walau ragu, lalu segera kembali memandangi ayahnya. "Ayah, ada apa? Ayah sakit?"

Bahrun menggeleng lemah. Erma tampak tak sabar lagi.

"Ayah! Kalau Ayah nggak mau jawab, Mamah keluar dan tanya orang-orang. Ini tentang Teguh, kan?"

Insting seorang ibu kali memang tak pernah salah, pikir Najla. Ia menoleh kea rah Bahrun lagi dan memahami bahwa pria yang kini terisak itu belum mengatakan apapun kepada anak dan istrinya.

"Pak, seperti apapun keadaannya, Bapak harus menyampaikan yang sebenarnya kepada Rahma dan istri Bapak." Najla memandangi wajah pria itu. Hanya gelengan yang ia dapati. "Pak, Bapak mau saya yang menyampaikan?"

Bahrun menoleh kea rah Najla, menimbang sesaat. Ia tidak tega mengatakan dengan sejujur-jujurnya kepada Rahma apalagi Erma. Tapi istri atasan anaknya ini benar. Mereka harus tahu. Akhirnya Bahrun mengangguk, mempersilakan Najla yang menjelaskan.

Erma segera memberondong Najla dengan berbagai pertanyaan. "Ada apa ini, Bu? Teguh kenapa? Tolong jujur sama saya, Bu! Teguh nggak datang? Atau ibunya nggak mau datang?! Ada apa?!!!" Erma agak histeris sampai-sampai Tante Delia merangkul bahunya dan menenangkannya.

Sebelum menyampaikan berita pahit ini, Najla menoleh kea rah Rahma. Memastikan apakah gadis ini kira-kira sanggup atau tidak menerimanya. Tapi sekilas Rahma tampak lebih tenang daripada mamahnya.

Najla menggamit tangan Rahma, lalu tangan Erma. Ia menatap mereka berdua. Dalam hati ia menyebut asma-Nya, lalu menarik napas dalam dan mengatakan yang sebenarnya kepada sepasang ibu dan anak di hadapannya.

"Rahma, Bu Erma, sabar, ya? Yang kuat. Teguh tidak akan datang hari ini seperti semalam juga ia tak datang."

Erma langsung menangis histeris. Tante Delia memeluknya erat kali ini. Sambil menahan air matanya sendiri. Ini pernikahan paling menyedihkan yang pernah ia tolong.

Sementara Rahma seperti tak bisa merasakan apapun. Tatapannya kosong. Tapi ia masih bisa bertanya kepada Najla.

"Kenapa, Bu? Apa karena ibunya?"

Najla teringat cerita Bramantya tadi dan ia mengangguk. Ia pikir, lebih baik Rahma dan keluarganya tahu yang sebenarnya.

"Katanya, Teguh dan ibunya sudah berangkat untuk ziarah tadi Subuh ke makam bapaknya di Garut."

Rahma mengangguk. "Itu pasti cara ibunya agar Kak Teguh nggak jadi menikah dengan saya."

"Kurang ajar si Tutiek!!!!" Erma berteriak sekencang-kencangnya. "Perempuan nggak punya hati! Kalau dia nggak izinin anaknya nikah sama anak saya, harusnya nggak gini caranya. Ya Allah!!! Ya Allah!!!"

"Sabar, Bu Erma, sabar!" Tante Delia terus berusaha menenangkan teman pengajiannya itu.

"Nggak!! Jangan suruh saya sabar!! Saya nggak bisa sabar!!! Kita susul mereka ke Garut! Teguh harus menikah dengan si Neng!!! Jemput dia!!! Jemput sekarang!!!!!"

Semua mata tertuju pada Erma yang masih mengamuk histeris hingga terdengar suara mengejutkan. GUBRAK! Saat mereka semua menoleh, tampak Rahma sudah terjatuh dan pingsan.

"Neng!!!!" teriak Bahrun panik.

ISTRI KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang