Gone

42 14 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma sholli'ala Sayyidina Muhammad wa'ala ali Sayyidina Muhammad.

Selamat membaca🤗

°°°

Faricha mengusap sisa air matanya. Ia tidak menyangka, ternyata yang melakukan hal itu adalah teman-temannya sendiri. Masih teringat jelas akan ruangan gelap dan suara tokek—yang menakutkan menurut Faricha—di kepalanya, bahkan suasana yang ia lewati kini malah terasa seperti itu.

Di tengah jalan, ia bertemu dengan Bilman, tanpa Rahsya. Laki-laki itu menatapnya penasaran.

"Lo ...?"

Faricha hanya menaikkan satu alisnya.

Bilman merogoh saku jaketnya.

"Happy Birthday." Bilman menyerahkan dua gantungan kunci dengan gantungan sandal bermotif batik—gantungan yang sempat Bilman pamerkan saat ia liburan ke Jogjakarta, saat mereka kecil dulu.

Faricha menerimanya.

"Terima kasih."

Laki-laki itu mengangguk. "Iya, sama-sama."

Setelah itu, Bilman pergi. Faricha mengeratkan pegangannya pada tali tasnya, lalu berjalan dengan cepat, sambil dalam hati berharap, semoga keluarganya memberikan kejutan yang berkesan dan tidak akan ia lupakan.

Sebelum kakinya melangkah memasuki pekarangan rumah, Faricha melihat rumah depan rumahnya dengan berbagai rasa, ada kecewa dan senang, tercampur aduk. Namun, sekarang rumah itu telah kembali sunyi. Dhani dan keluarganya telah kembali ke rumah lamanya Sabtu sore kemarin, karena rumah itu telah selesai renovasi.

Ia melangkah memasuki rumah.

"Assalamu'alaikum."

Terdengar suara balasan salam, namun lirih. Faricha tidak menuju sumber suara itu, malah melangkah ke ruang makan.

Sepi, tidak ada makanan di meja.

Gadis itu melangkah mengambil air minum, dan meminumnya sekali tegukan. Baru lah setelah itu melangkah menuju lantai dua.

"Bunda?"

Ingin rasanya Faricha menangis melihat wanita yang melahirkannya itu tak mengingat hari ulang tahunnya. Dan kini, malah sedang mengemasi pakaiannya ke dalam koper.

"Adek?"

Firda terdiam beberapa detik, dengan mata merah, sebelum kembali bersuara, "Baju kamu beresin sendiri, ya? Ini kopernya."

Wanita itu mengambil satu koper kosong, dan menyerahkannya pada Faricha. Faricha masih terdiam di depan pintu kamar orangtuanya seraya memegang koper.

"Untuk apa?" tanya Faricha setelah lima menit ia berdiri terdiam di sana.

"Ehm--"

"Jenazah Fauzan dan Tia sudah dibawa ke rumah sakit, dan akan dibawa ke rumah besok. Kita harus cepat, sebelum mereka dikebumikan besok."

"Hah?"

Faricha berbalik menatap sosok pria yang berdiri tak jauh dari posisinya. Mata pria itu sedikit memerah, seperti menahan tangis.

Faricha diam mencerna ucapan sang ayah. "J-jenazah?" gumamnya bergetar.

Furqon berjalan ke arahnya, memegang kedua bahunya lembut. "Dek, maafin Ayah dan Bunda, untuk yang kali ini saja. Kamu beresin pakaian kamu, ya?"

FarichaWhere stories live. Discover now