Jangan Suka Karena Baper!

185 27 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim...

Allahumma sholli'ala sayyidina Muhammad wa'ala ali sayyidina Muhammad.

Happy reading😘

°°°

Kelas terlihat sangat sepi ketika ia memijakkan kakinya. Ia meletakkan tasnya di bangkunya, lalu melihat-lihat pajangan kelasnya yang tak pernah sempat ia lihat karena saking terpencilnya ia di kelas ini. Padahal ia menggunakan kelas ini sudah hampir satu tahun, dan sebentar lagi ujian kenaikan kelas, namun ia baru menyadari bahwa luasnya kelasnya.

Ketika piket pun, ia hanya menyapu separuh dari kelas ini, separuhnya lagi temannya.

"Ini lukisannya siapa ya?" Ia melihat lukisan bayangan burung yang berpasangan yang sedang bertengger di ranting pohon menatap bulan purnama.

Ia mengamatinya, dan menemukan nama pelukisnya di bawah kanvas. "Meilina Putri." Faricha membaca nama itu.

Brak

Pintu kelas yang sebelumnya ia tutup, kini dibuka dengan kasarnya oleh manusia yang malah cengengesan melihatnya. Ia hanya menaikkan alisnya, melihat aneh kearah laki-laki itu.

"Gue berangkat cepet loh, nggak mau ngasih gue hadiah gitu? Seenggaknya kasih gue tepuk tangan." Faricha pun bertepuk tangan lima kali, kalau tujuh kali ia rasa kebanyakan.

"Siapa?" Tanya Faricha. "Yang nanya," ucap Danish. Ia sudah hafal di luar kepala kata-kata menyebalkan seperti itu.

Danish meletakkan tasnya di tempat duduknya. "Oh ya, Cha. Lo liat Olan kagak?" Faricha menggelengkan kepalanya tanpa menolehkan kepala kearah Danish.

"Kalo diajak ngomong ya ngadep sini," ucap Danish. Faricha tak mengindahkannya. Tangannya beralih menyentuh seni kriya yang di letakkan di lemari yang menempel di tembok, berseberangan dengan buku-buku.

"Yaelah, Cha!" Panggil Danish. "Bodoamat," jawab Faricha ketus.

Faricha melangkah kembali ke tempat duduknya. "Kenapa, kamu kangen adik-kakakmu itu?" Tanya Faricha. Ia sudah sangat hafal, jika Olan selalu bersama dengan Dhani ketika di sekolah.

"Kagak, cuma butuh ngobrol aja." Faricha menghembuskan nafas kasar. Mungkin Danish ini hidup di zaman batu, atau zaman logam, kalau tidak ya masa perundagian.

Ia merogoh saku roknya, lalu mengambil ponselnya. "Kamu punya benda seperti ini kan?" Tanya Faricha dengan nada ketus. Ia hanya berharap Danish peka dengan maksudnya.

Danish malah memasang wajah bego, dan menaikkan satu alisnya. "Punya lah, gue nggak kere kali, sampe lo nanya gue punya hape apa kagak." Faricha menghembuskan nafas kasar. Ingin sekali mengatakan 'BEGO', 'GOBLOK', atau yang lain, namun ia masih ingat dosa, dan ingat akan malaikat Raqib dan Atit selalu mencatat amal-amalnya.

"Sabar Cha, sabar kan aku ya Allah..."

Lelaki itu malah tertawa melihat Faricha yang mengucapkan itu dengan tangan mengurut dada. "Ngomong sama kamu tuh buat darah naik tau," ucap Faricha kesal.

"Bilang aja kali, lo juga tau, kalo cowok defaultnya udah dalam keadaan kurang peka. Jadi, cewek harus ngertiin, jangan pake kode-kode." Faricha mengangguk. "Kan kamu punya ponsel, di wa kek, line kek, dm kek, gitu aja ribet sih." Akhirnya, kekesalannya telah memuncak, ia memutuskan duduk untuk mengurangi emosinya.

FarichaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang