Fi?

239 46 2
                                    


Pemandangan malam menyambut mata beriris coklat yang kini tengah menatapnya dengan berbinar. Bahkan dinginnya angin malam pun tak membuatnya beranjak dari tempat tersebut.

Hijabnya melambai-lambai mengikuti arah kemana angin berhembus.

"Dek?!" Panggil seorang pria berusia 18 tahun yang merupakan kakaknya.

Gadis itu menoleh kearah dimana pria itu berdiri.

"Masuk ya, disini dingin. Nanti kamu masuk angin," ucap pria itu lalu mendekat kearah adiknya yang tengah duduk di kursi roda.

"Aku masih mau disini, Bang. Di dalam bosan, sudah gitu baunya tidak enak," ucap Faricha merengek.

"Nggak, kalau disini, nanti kamu sakit. Nanti Abang yang tambah dimarahin Bunda dan Ayah," ucap Farikhin, lalu mendorong kursi roda Faricha tanpa meminta persetujuannya.

Sementara Faricha hanya bisa pasrah. Toh, ia tak bisa apa-apa, punggungnya masih sakit, dan kakinya belum bisa digunakan untuk berjalan.

Mata Faricha menajam ketika ia melewati Ruang Anggrek II yang sedikit terbuka, dan menampilkan lelaki tinggi yang berdiri menatap perempuan yang keliatannya masih gadis, yang kini tengah terbaring di ranjang dengan menutup mata. Lelaki itu tidak berduaan, tetapi ada dua pria paruh baya dan satu wanita paruh baya.

Satu pertanyaan yang berada di benak Faricha. Sedang apa lelaki itu disini?

Faricha tak menyuruh kakaknya untuk berhenti. Ia tidak peduli, kenapa pria jangkung itu ada disini, atau apalah, toh itu bukan urusannya, dan tidak ada sangkutpautnya dengan dirinya.

Farikhin mengangkat tubuh Faricha, dan membaringkannya ke ranjang pesakitannya. "Bang, aku bosan. Aku juga kangen sekolah," ucap Faricha.

"Iya, Abang tau. Tapi kamu kan belum sembuh. Nanti kalau udah sembuh baru boleh berangkat," ucap Farikhin lalu menyodorkan air putih pada Faricha.

"Aku tidak haus," ucap Faricha. Farikhin pun mengangguk dan menyimpan gelas berisi air putih yang hampir penuh tersebut ke nakas.

"Aku kapan boleh pulang sih, bang?" Tanya Faricha kesal. Ia telah bertempat tinggal di rumah sakit ini selama dua minggu, dan dikasih makanan yang begitu hambar.

"Kalau sudah sembuh lah," ucap Farikhin santai lalu duduk di kursi samping ranjang Faricha.

"Abang tidak kuliah?" Farikhin menggeleng, "tidak," jawabnya seadanya.

"Abang bolos ya. Baru semester pertama saja bolos, nanti bisa-bisa kuliahnya kayak anak SD lho, sampai enam tahun," ucap Faricha.

"Ya tidak lah, Abang kan pintar. Tidak sampe semester 12 kali, paling-paling semester delapan sudah lulus," ucap Farikhin. "Oh ya, Abang tidak bolos, memang lagi tidak ada jam kuliah hari ini," lanjut Farikhin.

"Asal kamu tau ya, Dek. Kuliah itu, saat lagi malas-malasnya, tinggal bilang sama teman. 'Aku nitip absen ya?' Beres," lanjut Farikhin.

"Bang tidak boleh muji-muji diri sendiri lho, bang. Abang bisa pinter juga atas izin Allah, jadi yang pinter itu bukan abang, tapi Allah," ucap Faricha menasihati. "Abang juga tidak boleh ngajarin aku yang tidak benar. Ngajarin yang tidak benar kalau sampai nanti aku ngelakuin itu, Abang juga ikutan dosa, apalagi kalau sampai aku ngajarin gitu juga sama orang lain, dosa jariah, Bang. Ini juga yang buat bangsa Indonesi masih dalam keadaan berkembang, belum maju."

"Tumben bijak, dek. Mau jadi mak nyai ya?" Goda Farikhin sambil memutar-mutar jari telunjuknya kearah Faricha.

Faricha hanya mendengus pelan, lalu menutup tubuhnya sebagian dengan selimut rumah sakit.

FarichaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang