17

933 223 34
                                    

"lah? Bang Mark di sini aja, nih?" Tanya Renjun setelah mengambil posisi duduk di sebelah laki-laki itu.

Mark yang sebelumnya asik memantau kegiatan menoleh, mengangkat kedua alisnya, "kenapa? Dicariin?"

Renjun menggeleng, "enggak kok, aman."

"Terus kenapa?"

"Enggak—" Renjun menggeleng lagi, lalu arah pandangnya tertuju pada beberapa stand makanan yang berjejer tak jauh dari panggung didirikan.

Ia menunjuk ke arah stand berdiri, Mark segera menoleh ke arah yang ditunjuk Renjun itu.

"Kak Bulan sendirian. Heran aja, situ lagi santai-santai kenapa gak nyamperin." Jelas Renjun kemudian.

Mark memerhatikan Bulan yang tampak menonton pertunjukan di panggung sambil menikmati jajanannya, tidak menyadari menjadi perhatian Mark saat ini.

Menghela napas sebentar, Mark menoleh ke arah Renjun yang tengah meneguk air mineralnya.

"Kenapa Bulan?" Tanya Mark kini melipat kedua tangannya di dada.

Renjun melirik, "maksudnya?"

"Kenapa Bulan? Kayaknya setiap ada nama Bulan disitu ada nama gue."

"Bukan kayaknya lagi—" Renjun menggeleng tegas, "tapi emang udah harusnya gitu."

Mark terkekeh pelan, "ya—kenapa?"

Renjun diam. Laki-laki itu kini ikut melipat kedua tangannya, memerhatikan Mark sebentar sebelum menjawab pertanyaan laki-laki itu.

"Ini nanya karna emang gak tau, atau ada maksud lain?" Tanya Renjun menelisik mata Mark, memandang laki-laki itu sedikit curiga.

Bukannya tersinggung, Mark justru tertawa karenanya.

Ia menggelengkan kepala, "maksud lain tuh, maksud lain gimana? Ini gue nanya karna emang gak tau."

Renjun menghela napas berhenti memandang Mark penuh curiga, "takut aja ada maksud lain, kayak Lo bingung dengan perasaan Lo atau Lo bingung hubungan Lo mau dibawa ke mana."

Mark tertawa pelan, menganggukkan kepalanya. "Kayaknya itu termasuk juga."

Mendengarnya Renjun menghela napas lagi. Ia menggeser duduknya lebih dekat dengan Mark.

"Kayaknya Lo butuh konsul serius, bang." Kata Renjun berbisik, membuat Mark tertawa mendengarnya.

"Kalau gue butuh konsul, gue Konsul sama Lo gitu, nih?"

Dengan mantap Renjun menganggukkan kepalanya, "sebagai kepala departemen kebanggaan OSIS, gue ini orang yang pas jadi tempat konsultasi." Katanya membanggakan diri, menepuk dada kirinya dua kali.

Sedangkan Mark hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

Renjun berdehem pelan, "jadi, ini gue langsung to the point aja gimana?"

Mark tidak menjawab, hanya mendengarkan.

"Kalau Lo ngerasa itu dia, Lo harus bawa hubungan Lo yang enggak jelas itu ke kejelasan. Gue yakin, kak Bulan diam-diam bingung mau anggep Lo gimana. Mau punya perasaan lebih, tapi takut kalau Lo abu-abu gini."

Ucapan Renjun membuat Mark makin fokus memerhatikan Bulan yang setia sendirian.

Entah kemana kedua sahabatnya, yang pasti, gadis itu tampak sendirian saja mencoba menikmati pertunjukan yang ada.

Mark menganggukkan kepalanya, ia bangkit dari duduknya.

Renjun memandang dengan alis terangkat, "mau ke mana?"

Mark tersenyum, menepuk bahu adik kelasnya itu. "Nyamperin doi. Kasihan sendirian." Katanya, tersenyum lebar sebelum pergi berlalu menghampiri Bulan.

Renjun menghela napas, menggelengkan kepalanya pelan. Ia tersenyum melihat Mark dan Bulan yang mulai bercengkrama.


"Hai." Sapa Mark begitu tiba di samping Bulan, membuat Bulan menoleh dan tersenyum segera.

"Hai juga." Balasnya.

Mark memandang roti di tangan Bulan. Menyadari kemana arah pandang laki-laki itu, Bulan menyodorkan roti nya segera, "mau?" Tawarnya Mark menggeleng.

"Penasaran aja rasanya kayak gimana sampai kamu serius makan itu."

Bulan terkekeh pelan, "ini jualannya adek kelas. Rame tadi yang beli, jadi ikutan beli."

Kepala Mark mengangguk paham, "enggak makan nasi gitu?"

"Enggak ah—" Bulan menggeleng, "—kalau makan nasi nanti gak bisa makan banyak jajan."

"Kamu sendiri udah makan belum? Atau mau jajan juga?" Bulan balik bertanya.

"Tadi sih dibagiin kue gitu, cuma enggak aku ambil."

"Loh? Kenapa?"

"Gak tau." Kedua bahu Mark ikut terangkat sebentar, "gak pengen aja kayaknya."

Bulan menghela napas, menggelengkan kepalanya, "terus—konsumsi nasi nya kapan? Selesai acara?"

Mark mengangguk sebagai jawaban.

"Selesainya kapan?"

"Jam tiga, lah. Habis pertunjukan ekskul kan, penutupan acara."

"Bukan—" Bulan menggeleng sambil berdecak pelan, "—kamu nya selesai jam berapa aku tanya."

"Oh—mungkin jam lima?" Tebak Mark meragu, lalu mengedikkan kedua bahunya. "Tergantung kita nya cepet beres atau enggak, sih."

"Kamu makan sekarang, deh. Ini lagi istirahat, kan? Aku temenin ya?"

Baru mulut Mark hendak terbuka menjawab ucapan Bulan, tepukkan di pundak laki-laki itu menginterupsi lebih dulu.

Tidak hanya Mark yang menoleh, Bulan pun turut menolehkan kepalanya.

Naeun dengan wajah cemas nya barusan menepuk pundak Mark.

Kening Mark mengernyit heran, "kenapa?"

"File piagam untuk besok yang mau di print enggak ada di hardisk." Jelasnya terdengar cemas, suaranya bergetar seperti ingin menangis.

Walau tidak tahu, Bulan yakin ini situasi yang bisa dibilang darurat. Buktinya, air muka Mark ikut cemas ketika mendengar penjelasan Naeun.

"Ini sekarang yang urus di sana siapa?" Tanya Mark.

"Jaemin." Jawab Naeun segera, "dia ada di sana bantuin. Ayo liat ke sana."

Mark menganggukkan kepalanya, hendak melangkah pergi mengikuti langkah Naeun. Namun terhenti, kala ia teringat Bulan yang masih ada bersamanya sejak tadi.

Ia menoleh, memandang Bulan cemas. Laki-laki itu seakan meminta pengertian.

Bulan tersenyum manis, seakan memaklumi menjawab kecemasan Mark padanya.

"Nanti selesai semua aku telepon kamu, ya." Kata Mark, Bulan hanya balas dengan anggukkan.

"Semangat." Katanya yang entah didengar oleh Mark atau tidak, sebab bersamaan itu Mark pergi meninggalkan dirinya.

"Semangat, Mark." Gumamnya pelan. Menyemangati lagi.

•••

Maaf ya baru update cerita ini 😬😬😬

Kalian sehat kan? Sehat terus yaaa jangan sampai sakit 💚💚💚💚

Banyak yang dyu kerjain hehehehe
Tahun ini kayaknya enggak bakal ada kata berhenti dehhh

Tunggu yaaa 💚💚💚💚




Sementara | Mark Lee✔️[Completed]Where stories live. Discover now