Aku Melawan Rasa Takut

5.7K 1.1K 74
                                    


Tidak ada yang mudah dalam melawan rasa takut. Ia adalah sebuah perasaan yang kehadirannya berada namun tidak berwujud nyata. Tapi, bukan berarti aku akan kalah, karena meski sulit, setidaknya aku telah melawan.

Aku duduk berhadapan dengan Dokter Windra. Seorang diri, sementara Ravindra dan Aruna menunggu di depan. Tidak ada yang berubah dari ruangan Dokter Windra, selain penambahan sebuah bingkai foto yang menghadap padanya. Kutebak, pasti foto keluarga atau kekasihnya. Menurutku, Dokter Windra itu sosok psikiater yang lembut, selalu bisa mengerti keadaan pasiennya, termasuk aku.

"Jadi, bagaimana perkembanganmu?" Dokter Windra bertanya sambil mengulas senyum. Terkadang, aku masih tidak menyangka, laki-laki di depanku ini adalah kakak dari Ravindra. Mereka mungkin sama-sama laki-laki yang lembut, bedanya ... Dokter Windra lebih bisa membangun pembicaraan dengan orang lain ketimbang Ravindra. Ya, kata lainnya, Ravindra sedikit lebih kaku dari Dokter Windra.

"Sepertinya sudah bagus Dok, saya sudah berani tinggal sendiri dan nggak ada kendala."

"Jadi tetangga Ravindra ...."

Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Aku membalas dengan anggukan dan sebuah senyuman.

"Mimpi buruk? Cemas, masih?"

"Mimpi buruk masih, tapi nggak sesering dulu. Cemas juga kadang-kadang aja, Dok."

"Rasa cemasnya ada pemicu atau tiba-tiba datang?"

"Terkadang ada pemicu, kadang juga tiba-tiba."

"Contohnya?"

Aku menghela napas, meremas kedua tanganku yang tertumpu pada paha. Saat ini saja aku cemas, entahlah ... mungkin karena sedang sesi konseling. Terkadang, aku tidak mengerti dengan reaksi tubuh dan isi kepalaku sendiri.

"Seperti saat ini, saya tiba-tiba cemas, nggak ada alasan. Atau mungkin saya belum memahami diri saya sendiri. Kalau pemicu, misalnya saya mau presentasi tugas di perkuliahan, kadang perasaan cemas dan panik itu datang tiba-tiba."

"Oke, kamu masih bisa mengatasi semua itu atau minum obat saat perasaan cemas itu datang?"

"Masih bisa teratasi kok, Dok. Biasanya cuma sejam dua jam. Obatnya juga nggak tiap waktu saya minum, hanya kalau benar-benar nggak bisa handle diri saya sendiri."

"Dalam seminggu ini, apa kamu pernah minum obatnya?"

Aku menggeleng, rasanya belum. Aku sudah bisa menghadapi diriku sendiri, tidak seburuk dulu. Mungkin karena pengaruh lingkungan juga. Ternyata memang, aku butuh tempat tinggal yang tenang dan lingkungan yang kondusif.

"Nggak, Dok."

"Saya pikir, perkembanganmu sudah sangat bagus, Ran. Mungkin nanti kamu bisa jadwalkan mengunjungi saya kalau memang butuh bantuan. Tapi, saya akan tetap pantau kamu."

Aku mengangguk, memang Dokter Windra sering menanyakan kabarku melalui pesan whatsapp. Sebatas itu, tidak lebih. Karena kata Dokter Windra, seorang Dokter dan pasiennya itu memiliki batasan apalagi dokter jiwa. Tidak boleh terlalu dekat melebihi perannya sebagai dokter untuk pasiennya. Ya, sama saja dengan larangan seorang psikolog, dilarang jatuh cinta pada klien.

"Langsung balik ke Surabaya?"

Aku tersenyum canggung, Dokter Windra tahu aku datang dengan Ravindra ke sini.

"Nggak, Dok. Mau nginep di rumah temen, sekalian jalan-jalan."

"Bagus, memang harus serung-sering begitu. Untuk mengurangi beban pikiran juga."

Katanya, Aku Berhargaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن