Aku dan Aruna si Pemberani

10.3K 1.8K 137
                                    

Rasanya memang melelahkan, saat mengingat hal – hal menyakitkan di masa lalu, sempat ingin menyerah karena sudah terlalu lelah. Tapi, Tuhan maha baik dengan segala rencananya, selalu ada yang menguatkan, selalu ada yang memberi dorongan, dan selalu ada sebuah harapan.

"Kalau ada apa – apa langsung kabari Tante sama Om ya, Sayang?"

Tante Resti menatapku dengan khawatir. Hari ini aku resmi pindah. Siap memulai hidupku yang baru, tanpa keluarga, hanya ada diriku sendiri yang akan menghuni apartemen ini.

"Iya, aku pasti kabarin kok, Tan. Enggak usah khawatir. Aku pasti baik – baik aja."

Tante Resti memelukku lagi, seperti tak rela aku keluar dari rumahnya. Aku mengerti, mungkin tante khawatir padaku, takut terjadi apa – apa. Bagaimanapun aku hanyalah seorang perempuan yang baru menginjak masa dewasa, perempuan lemah yang mencoba bangkit dari kenyataan yang pernah ia hadapi.

"Tante akan sering berkunjung."

"Iya, Tante."

"Ya, sudah. Tante sama Om pergi dulu. Kamu baik – baik ya?"

Aku mengangguk, lalu mengantarkan tante dan om ke depan pintu apartemenku. Mereka memberikan senyum hangat sebelum akhirnya pergi. Orang – orang baik, aku bersyukur sekali lagi, Tuhan masih menyisakan orang baik di dalam hidupku. Dua malaikatku.

"Kamu tinggal di sini sekarang?"

Suara Ravindra membuatku sedikit terkejut, laki – laki itu tiba – tiba berdiri di depanku yang masih terpaku di depan pintu apartemen. Ia mengenakan kemeja berwarna biru muda dengan celana kain berwarna hitam. Tangan kanannya membawa sebuah jas putih, mungkin jas lab miliknya.

"Eh, iya. Baru pindahan. Kamu baru pulang?"

"Baru selesai praktek."

Ravindra lalu melihat jam di pergelangan tangannya, ini masih sore, sekitar pukul empat. Laki – laki itu lalu kembali melihatku, seperti memikirkan sesuatu.

"Mau temani aku makan?"

"Makan?"

"Iya, aku belum makan dari pagi. Di restoran bawah?"

Aku sedikit menimbang ajakannya, tidak enak juga untuk menolak. Ravindra juga sepertinya orang baik, lebih penting dia adik Dokter Windra dan seorang calon dokter, beberapa kali kami juga pernah mengobrol dan cukup nyambung. Kecil kemungkinan akan berbuat buruk. Dokter Windra bilang, aku harus berani, berani untuk memulai dan mematahkan ketakutan serta keraguan. Toh, ini hanya ajakan makan. Kurasa tidak masalah.

"Aku ambil dompet dulu deh."

"Enggak usah. Aku traktir, anggap saja salam perkenalan tetangga baru."

"Nanti merepotkan."

"Enggaklah, ya kecuali kamu memborong semua makanan di restoran."

Ia tergelak, mau tak mau aku ikut tertawa. "Emh, yaudah."

***

Kami makan di sebuah restoran Jepang di dalam mal. Ravindra bilang, ia menyukai makanan Jepang. Kami memesan shabu – shabu dan ocha. Sebenarnya, Ravindra yang memesan, aku hanya ikut saja. Tadinya, Ravindra ingin memesan sashimi, namun tidak jadi karena ia melihat ada menu shabu – shabu di restoran ini.

"Jadi, selama ini kamu tinggal bersama keluarga Om kamu?"

"Iya, sejak orang tuaku enggak ada."

Ravindra tampak terdiam sesaat, dia mungkin tahu sebagian kisahku, kami bercerita beberapa hal sejak tadi.

Katanya, Aku BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang