Aku dan Teman Baru

1K 257 26
                                    


Aku kesepian. Hal yang kurasakan selama hampir dua tahun ini, dan bertambah parah sejak Aruna memilih untuk menghindar, untuk kesalahan yang aku sendiri nggak tahu perihal apa. Aku masih terlalu takut untuk memulai berteman dengan orang lain, simple ... aku takut ditinggalkan terlalu cepat. Entahlah, mengatasi ketakutan ternyata nggak gampang, meski aku sudah beberapa kali mencobanya. Namun, tetap akhirnya terasa gagal. Banyak yang mencoba untuk mengajakku berteman, beberapa orang bahkan melakukannya secara terang-terangan, tapi percaya kepada orang baru memang bukan hal yang mudah. Tadinya, aku memang merasa sudah membaik, lalu Aruna tiba-tiba menghindariku, sejujurnya hal itu sangat berpengaruh pada diriku saat ini. Meskipun masih ada Ravindra, tapi rasanya tetap nggak sama.

Aku menghela napas, mencoba mengusir hal-hal nggak penting yang hinggap di kepala. Urusan kematian kedua orangtuaku jauh lebih penting saat ini. Aku ingin kasus ini segera selesai, dan nggak berlarut-larut tanpa kejelasan, seperti saat ini.

Aku duduk di depan Om Redi dan Tante Resti, aku baru saja meminta mereka untuk nggak lagi mengurusi kasus ini, sesuai permintaan Disty. Aku tahu, ini semua nggak akan berjalan dengan mudah, sejak tadi, diskusi antara aku dan Om Redi nggak berjalan lancar. Om Redi menolak untuk lepas tangan.

"Ran, Om tahu kamu sudah membaik. Tapi Om mohon, jangan menangani hal ini sendiran, biarkan Om dan Tante terlibat. Bagaimanapun, ayahmu adalah kakak kandung Om, Ran. Om merasa punya tanggung jawab untuk mengungkap sebab kematiannya."

"Aku minta maaf sama Om dan Tante, tapi aku nggak mau merepoti kalian lagi dengan kasus ini. Om sama Tante juga nggak perlu khawatir, ada teman yang membantuku untuk menghubungi Pak Darsawangsa, salah satu pengacara yang terkenal bisa memecahkan banyak kasus. Aku ingin segera mengungkap kasus ini, Om, Tante."

Aku memandang mereka dengan penuh penyesalan, namun daripada terus menerus disalahkan dan dibenci oleh Disty, mungkin ini pilihan yang terbaik. Aku percaya, aku bisa melakukannya, dengan berbagai cara, kamatian mama dan papa memang harus segera diungkap.

"Kasus ini hampir memiliki titik temu, Ran." Om Redi menarik napasnya, lalu menyodorkan setumpuk berkas yang tadi diambil oleh Tante Resti. Wanita itu lalu duduk di sampingku, mengelus rambutku, memberikan ketenangan yang kubutuhkan.

"Apa ini Om?"

"Kamu bisa memberikan itu pada Pak Darsawangsa. Itu semua hasil penyelidikan detektif yang Om sewa selama ini. Tapi, ingat Ran ... kamu harus hati-hati, orang yang sengaja membunuh orang tuamu bukan orang yang sembarangan, ia jelas memiliki kekuasaan yang besar."

"Tante sama Om akan selalu ada buatmu, Ran, kapanpun kamu butuh, kamu bisa menghubungi kami," timpal Tante Resti. Sejujurnya aku sedih melihat raut wajah kecewa Om Redi. Bagaimanapun, ia adalah seorang adik yang tumbuh bersama dengan kakaknya. Rasa kehilangan itu pasti ada, hanya saja, Om Redi mungkin nggak mau menunjukkannya.

"Makasih Tan, Om. Maaf ya, aku bikin kalian kecewa."

"Jangan merasa bersalah, Ran. Om hanya takut kamu kenapa-napa. Om nggak akan memaafkan diri Om sendiri kalau sesuatu terjadi padamu. Kamu satu-satunya peninggalan mendiang ayahmu untuk Om. Sejujurnya, Ran ... melihatmu seperti ini, selalu membuat Om merasa bersalah dengan mendiang ayahmu. Jangan pernah merasa sungkan ya, Ran? Kita tetap keluarga."

Aku nggak tahu harus membicarakan apa. Om Redi terlihat begitu sedih, matanya menerawang jauh, ada jejak air mata yang berusaha disembunyikan. Pria ini seolah-olah sedang mengenang sesuatu. Mungkin tentang papa?

"Sejak kecil, papamu selalu berusaha melindungi Om, memenuhi semua keinginan Om. Selalu menjadi tameng saat Ibu sedang marah. Ayahmu adalah sosok yang hebat. Tapi, sayangnya ... Om bahkan nggak mampu melakukan hal yang sama, sampai kamu harus tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Bahkan Om nggak bisa mencegahmu keluar dari rumah ini. Kamu hidup seperti hidup sebatang kara, padahal kamu memiliki Om dan Tantemu sebagai tempat untuk pulang. Maafkan Om ya, Ran?"

Katanya, Aku BerhargaWhere stories live. Discover now