Aku, Ravindra dan Sebuah Obrolan

11.5K 2.2K 160
                                    

Sebelum memutuskan untuk mencintai orang lain, aku kembali mempertanyakan, sudah besarkah cinta yang kuberikan untuk diriku sendiri? Aku tidak ingin sibuk mencintai orang lain dan lupa, bahwa diriku juga butuh cinta yang besar.

"Bagaimana kabarmu Ranala?"

Hari ini jadwalku bertemu Dokter Windra, seperti biasa aku selalu datang sendiri untuk bertemu Dokter Windra. Sebenarnya, Tante Resti sudah menawarkan diri untuk menemaniku, tapi aku tidak ingin melibatkannya lebih jauh. Aku ingin mencoba menjadi mandiri, karena nantinya, pasti aku akan hidup sendiri. Tante Resti dan Om Redi enggak mungkin hidup selamanya bukan? Kedua sepupuku? Mereka nyaris tidak menganggapku ada.

"Saya baik, Dokter."

Dokter Windra tergelak dengan matanya tampak semakin sipit. Aku belum bilang ya kalau Dokter Windra ini memiliki sedikit wajah oriental, tapi rambutnya berwarna cokelat tua, bola matanya berwarna biru gelap. Tapi, wajah Indonesianya memang lebih mendominasi.

"Kira – kira, ada kejadian menarik apa, Rana? Sepertinya, auramu lebih positif."

Aku tertawa kecil, aku selalu nyaman jika mengobrol dengan Dokter Windra. Mungkin karena dia sosok laki – laki yang ramah dan baik sesuai dengan pekerjaannya sebagai dokter jiwa. Aku menganggapnya seperti seorang kakak laki – laki yang tidak pernah kumiliki.

"Dokter pasti sudah tahu."

Dokter Windra kembali tertawa, dugaanku mungkin tidak salah.

"Kamu berkenalan dengan adikku, Ravin?"

"Iya, kemarin. Kan, Dokter bilang saya harus lebih banyak berinteraksi dengan orang lain."

Dokter Windra tersenyum sekilas, menatapku lebih serius kali ini. "Bagaimana perasaanmu saat itu?"

"Jujur, saya masih takut, mendadak gelisah, deg – degan. Tapi, saya selalu ingat kata Dokter untuk melawannya semampu saya."

"Bagus, kemajuanmu cukup baik. Tidak masalah kan kembali berkenalan dengan laki laki?"

Aku mengangguk, tidak buruk. Di kelas memang aku memiliki teman laki –laki, tapi kami tidak pernah berkenalan secara resmi, ya tiba –tiba saling ngobrol begitu saja, terlebih jika ada tugas kelompok. Baru dengan Ravin aku kembali berkenalan dengan laki – laki.

"Obatmu bagaimana, masih rutin kamu minum?"

"Iya, Dokter tenang saja," aku sedikit berbohong. Obatnya hanya kuminum kalau aku mulai merasa buruk.

"Nanti, saya bisa kurangi dosisnya kalau keadaanmu lebih membaik, Rana."

"Saya merasa lebih baik, Dok."

Dokter Windra tersenyum lagi, pria ini memang rajin tersenyum. Dan, benar katanya, dosis obat yang aku konsumsi semakin lama semakin berkurang seiring dengan keadaanku yang membaik.

"Baiklah Rana, jangan berbohong pada saya perihal obat ya, kamu kurang bisa berbohong loh."

Aku meringis, dia tahu aku berbohong. Jelas saja, dari awal masuk ke sini, Dokter Windra yang merawatku, bagaimana aku pasti dia paham, apalagi dia seorang dokter jiwa.

"Hehe ... maaf, Dok."

"Rajin minum obat biar lekas pulih. Kalau kamu rajin, dosisnya akan saya kurangi. Saya cuma enggak mau kamu kembali rawat inap di sini."

Aku terdiam sesaat, ingat beberapa kasus pasien rumah sakit jiwa di sini yang keluar masuk rumah sakit jiwa karena psikisnya kembali memburuk setelah pulang ke rumah. Proses penyembuhan jiwa memang bisa berlangsung seumur hidup.

Katanya, Aku BerhargaWhere stories live. Discover now