Aku dan Misteri yang Mulai Terkuak

11.1K 1.7K 139
                                    


Tidak selamanya yang terlihat kuat akan baik-baik saja saat rasa sakit terus-terusan mendekap. Terkadang, kita hanya terlalu cepat menyimpulkan bahwa orang tersebut akan baik-baik saja saat tertimpa banyak masalah, mungkin kita tidak pernah tahu bagaimana beratnya ia berjuang dan mencoba melepaskan segala beban.

Hari ini aku pergi ke rumah Tante Resti lagi, aku ingin mengambil buku kuliah yang tertinggal. Aku baru ingat saat akan mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen. Karena itu termasuk buku yang belum lama kubeli, aku jadi tidak begitu mengingatnya.

Kediaman Om Redi sepi, maklum sih ini masih siang, Tante Resti sepertinya masih di kampus untuk mengajar, sedangkan Om Redi sibuk dengan bisnisnya. Aku baru saja selesai kuliah, hari kamis seperti ini memang hanya ada dua mata kuliah dengan total sks empat, jadi aku bisa pulang lebih cepat.

"Assalamualaikum Mbok Sayem."

Aku menyapa wanita paruh baya yang mengenakan daster berwarna ungu, Mbok Sayem, pembantu di rumah Tante Resti. Mbok Sayem sedang berada di halaman rumah, sepertinya akan membuang sampah di depan rumah.

"Eh Mbak Rana."

"Iya Mbok, aku mau ambil barang. Tante Resti belum pulang ya?"

"Belum Mbak, Ibu masih di kampus, katanya ada acara."

"Oh, ya udah deh, aku masuk ya, Mbok."

Mbok Sayem tersenyum singkat sebelum akhirnya berlalu, meneruskan langkah membuang sampah. Mbok Sayem memang seperti itu, kami tidak terlalu dekat, tapi wanita itu menghargaiku sebagai keponakan dari Om Redi. Aku pun tidak mempermasalahkannya, selama Mbok Sayem tidak menghakimiku, kurasa cukup.

Aku membuka pintu kamarku di rumah Tante Resti. Bersih dan terlihat rapi seperti kali terakhir kulihat. Mungkin Mbok Sayem membersihkannya setiap hari. Aku meletakkan tas ransel di atas kasur, lalu mulai mencari buku yang kubutuhkan. Ternyata, ada di laci bawah meja belajarku. Buku bersampul putih itu masih bersegel, maklum sih belum sempat kubuka, biasanya aku lebih suka mencari jurnal atau mencari literatur dari perpustakaan fakultas, hanya saja rasanya sayang kalau tidak kugunakan, bagaimanapun aku telah membelinya dengan uang dan harganya juga tidak murah. Dari dulu, Mama mengajariku untuk selalu menghargai dan bersyukur atas berapa pun uang yang kumiliki atau berapa pun jumlah yang kupakai, dan hal itu masih kuterapkan hingga hari ini.

Aku segera mengambil tas yang tadi kuletakkan di atas kasur dan berniat untuk segera pergi. Besok pagi, aku akan ke Malang bersama Ravindra dan Aruna. Kebetulan, kelas di hari jumat diganti pada hari rabu karena dosennya sedang berhalangan hadir.

"Heh, ngapain kamu ke sini?"

Aku sedikit kaget saat tahu-tahu Disty berbicara padaku. Dia sedang berada di ruang tamu bersama teman-temannya. Mungkin mereka baru datang, karena tadi tidak kutemukan keberadaannya. Sejujurnya, aku malas bertemu dengan teman-teman Disty, sikapnya tidak jauh beda dari Disty, bukan mau menilai, hanya saja aku pernah beberapa kali bertemu dengan mereka dan entah mengapa pandangan mereka selalu tidak enak untuk dilihat. Aku seperti dibuat bahan tertawaan oleh Disty dan teman-temannya, sejujurnya ... itu tidak enak sama sekali.

"Ambil buku."

"Oh, ya udah sih, sana! Nggak usah lama-lama di sini."

"Iya, ini mau pulang."

"Keluargamu baik banget ya Dis, mau ngerawat sepupumu. Kamu pasti sabar banget kan selama ini." Satu di antara mereka berbicara, seorang gadis berambut lurus, aku tidak tahu namanya. Mereka memang tidak berbicara padaku, hanya seperti yang kukatakan tadi, pandangannya terlihat merendahkan.

"Ya gitu deh, Tes. Semua perhatian ortuku buat dia, kan kesel ya? Aku yang anak mereka, tapi sejak dia dateng malah fokus perhatian ke dia semua. Hah, untung udah minggat dari rumah ini."

Katanya, Aku BerhargaWhere stories live. Discover now