Aku Ingin Tetap Hidup

4K 1K 151
                                    

Katanya, semua orang berhak bahagia. Lalu, apakah si mantan pasien rumah sakit jiwa ini, juga berhak merasakannya?

Ravindra Danuraja Djiptadi. Itu adalah nama lengkap Ravindra, Aruna yang memberitahuku. Aku tidak pernah berusaha untuk mencari tahu tentang Ravindra, namun Aruna—sahabatku itu dengan sendirinya menceritakan semua hal tentang Ravindra yang ia ketahui.

Ia—Aruna, sedang sibuk bermain di bibir pantai, bersama Eja. Terkadang, aku berpikir untuk bisa seterbuka Aruna, ia dengan mudah menerima orang baru masuk ke dalam hidupnya. Tapi, berkali-kali aku mencoba, aku tetap merasa sulit untuk kembali seperti sifatku dulu, sebelum peristiwa itu terjadi. Dulu mungkin, aku termasuk orang yang lumayan mudah bergaul, walau tidak sesupel Aruna, tapi setidaknya tidak semenyedihkan saat ini. Aku terlalu berkubang pada ketakutan yang tidak memiliki akhir, terlalu memanjakan pikiran negatifku, sehingga ... selama satu tahun ini, sangat sedikit sekali orang yang bisa diterima dengan baik oleh isi kepalaku. Mungkin hanya Aruna dan Ravindra.

"Ada yang kamu pikirkan?"

Aku menoleh pada Ravindra, ia duduk di sampingku sambil menyodorkan satu botol air mineral yang kemudian kuterima.

"Nggak papa."

"Kata orang, kalau cewek udah bilang nggak papa itu pasti kenapa-napa." Ia menatapku sambil menahan tawa.

Aku mengerutkan dahiku, "Ha? Teori dari mana?"

"Kata orang, ya dari orang." Ravindra tergelak yang mau—tak—mau membuatku ikut tertawa.

"Ada-ada aja."

"So, kenapa?" Ia kembali mengulang pertanyaan yang sama, aku menghela napas. Aku baru tahu, kalau Ravindra itu orang yang tidak akan puas dengan satu jawaban singkat.

"Nothing."

"Daritadi kamu lihat Aruna. Ada yang salah?" Ia masih menyelidik, berusaha memaksaku itu menjawab.

"Sori, nggak maksa. Jangan dijawab kalau nggak nyaman," lanjutnya, mungkin Ravindra berpikir kalau rasa penasarannya membuatku tidak nyaman.

"Nggak papa, aku hanya berpikir ... kapan bisa seperti Aruna, dia bisa santai menjalani hidupnya, dia bisa menerima banyak orang baru masuk ke dalam hidupnya. Aku sulit melakukannya."

"Ran ...." Ravindra memandang hamparan ombak yang terhampar di depan kami, Pantai Gatra ini tidak begitu ramai, hanya ada beberapa pengunjung. Padahal, pemandangannya luar biasa indah, dengan air lautnya yang berwarna biru kehijauan, serta hamparan karang yang membentuk bukit, mungkin karena aksesnya agak sedikit sulit, tadi kami harus berjalan cukup jauh untuk mencapai pantai ini, karena mobil Ravindra tidak bisa masuk. Aku dan Ravindra sendiri memilih untuk duduk di bawah pohon yang cukup rindang, sambil menikmati udara pantai yang menerpa kulit. Aroma air laut menenangkan.

"Jangan mengikuti orang lain. Kamu tentu nggak lupa kalau individu itu unik, punya kebiasaannya masing-masing dan pasti berbeda dengan orang lain."

"Aku tahu, tapi kadang tetap rasa insecure itu sulit dilawan."

"Pelan-pelan, Ran. Kamu pasti bisa melawannya, kamu itu perempuan yang ... menarik."

"Menarik? Maksud kamu?"

Ravindra tersenyum lembut, laki-laki itu lalu meminum air mineral dari botol miliknya. Ia tak kunjung menjawab pertanyaanku.

"Bagiku, kamu perempuan kuat yang istimewa. Kamu bisa melawan banyak hal menakutkan yang kamu alami, nggak semua orang bisa sepertimu, Ran."

"Aku hanya mencoba menjalani hidupku, sekalipun aku terus menerus menyesali semuanya, itu nggak akan bikin Mama dan Papa hidup lagi." Ada kepahitan di ujung lidah yang berusaha kutekan. Aku tidak sekuat itu, setiap kali membicarakan kedua orang tuaku, ada perasaan sedih yang menyusup tanpa permisi.

Katanya, Aku BerhargaWhere stories live. Discover now