Aku Akan Selalu Bertahan

10.8K 1.8K 209
                                    

Dalam hidup, yang membenci dan tidak menyukai keberadaanku akan selalu ada. Tugasku hanya perlu meminimalisir dan menghindari toksik yang dapat membuatku lupa, bahwa saat ini tujuanku hidup adalah untuk bertahan dan bahagia.

"Aku enggak habis pikir, ada ya orang segila Disty? Plislah, kamu itu saudaranya loh, Ran."

Aruna tidak berhenti mengomel sejak tadi. Ia terus memaki-maki sikap Disty padaku—ya walau aku sudah terbiasa dengan sikap itu—Aruna bahkan tak segan untuk mengumpati Disty, sisi lain dari Aruna yang baru kutahu, mungkin selain ambisius, Aruna juga sosok yang keras.

"Enggak papa, udah biasa."

Aruna berdecak, aku hanya tersenyum. Ia pasti kesal karena aku yang terus – terusan diam menerima sikap Disty yang memang semena-mena.

"Enggak bisa gitu dong. Sialan banget tu cewek, dipikir, dia paling cantik dan wah? Cuih, tampang kayak gitu belagu."

"Udah, Run. Udah, enggak papa."

Aruna membeliakkan matanya, ia menatapku tajam. "Ranala! Kamu harus tegas, jangan mau ditindas, kamu berhak melawan. Jangan diem terus, jangan jadi lemah. Aku enggak mau kamu lemah, aku—"

Aruna tak melanjutkan ucapannya, bibir perempuan itu bergetar. Ia menutup kedua telinganya, mulai terisak keras. Aku cukup terkejut melihatnya yang seperti ini, tidak pernah Aruna bersikap begini sebelumnya. Ini, kali pertama Aruna menangis tak terkendali. Aku mengusap punggung Aruna, tidak mengatakan apapun, barangkali ia memiliki hal buruk yang tiba – tiba melintas di kepalanya, aku membiarkannya menangis dan meluapkan semua emosinya, kebetulan kami sedang berada di apartemenku, tidak akan ada yang terganggu dengan tangisan Aruna. Bahu perempuan ini sampai bergetar – getar, wajahnya memerah, menahan emosi yang sepertinya meluap – luap seperti sungai.

"Sori, aku bentak kamu."

Aku menggeleng, menggenggam tangan Aruna yang mendingin. Ia telah selesai menangis, hanya terdengar isakannya sesekali saja.

"Enggak papa. Kamu sudah baikan?"

Ia mengangguk, matanya tiba – tiba kosong. Seperti sedang mengenang sesuatu, Aruna lalu menundukkan kepalanya, menghindari tatapanku yang mencoba menyelami perasaannya saat ini.

"Aku pernah menjadi korban pem-bully-an semasa SD, dan itu masih menimbulkan bekas sampai hari ini. Setiap melihat orang yang dengan seenaknya saja menindas orang lain, aku selalu lepas kendali. Enggak bisa kontrol emosiku sendiri. Maaf."

Aruna menghela napasnya, lalu mengusap air mata yang membasahi wajahnya. "Kenangan itu jadi mimpi buruk buatku, aku sudah mencoba menghilangkannya, tapi susah. Sesekali, kenangan itu akan kembali. Saat semuanya mengucilkanku, saat enggak ada satupun yang mau berteman denganku. Aku—"

"Aruna, tarik napas, tiga kali, lalu buang. Pejamkan matamu, sugesti, bahwa semua itu telah berlalu, kamu sudah baik – baik saja. Dokter Windra bilang, relaksasi ringan ini salah satu mantra yang harus dan selalu aku pakai. Aku harap, bekerja juga buatmu."

Aruna tersenyum, ia melakukan apa yang baru saja kukatakan padanya. Ia tampak lebih tenang, setidaknya, tidak seberantakan tadi. Aku paham benar bagaimana perasaannya, mengingat hal – hal yang menyakitkan dalam hidup memang bukan hal yang mudah. Akan selalu menimbulkan kekacauan tersendiri.

"Kamu kenapa diam aja diperlakukan Disty kayak gitu?" Ia kembali bertanya setelah keadaannya lebih baik.

"Simpel. Dia anak dari dua orang yang sangat berharga untukku saat ini, aku menghargai mereka."

"Tapi, kamu enggak bisa terus – terusan diam."

"Siapa bilang aku diam?"

Aku tersenyum tipis, lalu memandang penjuru ruang tamu di apartemen ini dengan saksama. "Lihat, aku keluar dari rumah itu. Setidaknya, ini caraku menyelamatkan diri. Aku mencoba peduli pada diriku sendiri, Runa."

Katanya, Aku BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang