Aku Hidup untuk Mereka yang Menerimaku

11.4K 2K 189
                                    

Tuhan selalu menggantikan yang telah hilang. Mulai saat ini, aku hanya akan hidup untuk diriku sendiri dan mereka yang menerimaku. Untuk mereka yang membenciku, terima kasih, rasa bencimu akan membuatku belajar bahwa setiap ada yang menyukai, akan selalu ada yang membenci.

Aku tidak pernah ingin menjadi lemah. Aku ingin menjadi perempuan kuat yang mampu menolong diriku sendiri, tapi aku sadar, disaat manusia berada di titik paling gelap dalam hidupnya, ia tidak bisa menolong dirinya sendiri. Butuh tangan lain untuk membantunya keluar, butuh dekap lain untuk memberinya kekuatan. Masa – masa itu, mungkin sudah lewat, sudah satu tahun lebih, tapi bekasnya? Masih mengendap dengan setia, dan aku yakin, tidak akan bisa dihilangkan seumur hidup.

Makam kedua orang tuaku tampak bersih, terawat rapi. Om Redi mengurusnya dengan baik. Tentang Om Redi, aku selalu kehilangan kalimat jika mengingat kebaikannya, seumur hidup, mungkin aku tidak bisa menggantikan kebaikannya. Tidak semua keluarga akan bisa bersikap seperti Om Redi dan Tante Resti, buktinya, beberapa keluarga dari pihak mama tidak ada yang mau mengurusku, tidak ada yang seperti Om Redi dan Tante Resti di hidupku, hanya mereka.

Nama mama dan papa tertera di atas batu nisan berwarna hitam, di sana, ada tanggal kelahiran dan tanggal kematian mereka yang dilukis menggunakan cat berwarna kuning. Di tanggal yang sama, di waktu yang sama aku kehilangan mereka. Aku menaburkan bunga yang kubeli di depan area pemakaman, rasanya masih sama, masih sama menyakitkannya seperti kali pertama kehilangan.

"Rindu, baik kan di sana?"

Aku mengelus batu nisan milik mama, seakan batu itu adalah sosok mama. Rasanya, rindu sekali. Biasanya, dulu kami menyekar ke makam nenek dan kakek, tidak mengira, tahun berganti dan kini aku harus mengunjungi makam mereka seorang diri, tanpa siapapun, mengunjungi jasad mereka yang telah damai di dalam tanah. Jiwa mereka telah menyeberang ke alam lain, tidak lagi bersamaku sejak hari itu. Di pikiranku, sibuk bertanya kepada Tuhan, apakah mereka sudah bahagia di sana? Karena di sini, aku belum menemukan kebahagian, aku masih berusaha untuk pulih dan mencari arti kebahagiaan yang sesungguhnya.

"Selamat ulangtahun, Mama. Aku sayang Mama, selalu."

Aku mencium batu nisan itu. Hari ini mama berulang tahun, yang keempat puluh satu. Mama memang masih cukup muda, seharusnya, hidup mama masih panjang, tidak berakhir seperti ini.

"Kadonya doa ya, Ma. Semoga dengan doaku, dosa Mama diringankan, juga Papa. Pasti di sana lagi ngerayain bareng Adek ya, Ma?"

Aku memiliki seorang adik, ia meninggal sewaktu usia kandungan mama menginjak bulan ketujuh. Kandungan mama memang lemah, dan calon adikku tidak bisa bertahan. Ia memilih kembali pada Tuhan sebelum kami semua mengenalnya. Ia seorang adik laki – laki, tampan, Papa sempat mengambil gambarnya sebelum dikebumikan.

Aku terdiam untuk beberapa saat, luka karena kehilangan orang yang kita sayang, barangkali akan mengendap selamanya. Terkadang, aku masih tidak percaya, kedua orang yang paling kusayang di dunia ini telah berbeda dunia denganku. Masih sulit untuk kupercaya, dan diam – diam, aku selalu berharap, ini adalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.

Aku lantas meraih ponselku, membuka aplikasi Al Quran yang ada di dalam ponsel. Surat Yasin, aku ingin membacakannya untuk mama dan papa sebagai hadiah ulang tahun. Kebetulan sekali hari ini aku tidak kuliah, jadi aku bisa berlama – lama di sini sembari merayakan ulang tahun mama.

"Semoga Mama suka ya, aku pergi dulu. Besok ke sini lagi."

***

Aku menghadap Tante dan Om Redi seusai magrib. Aku sudah memikirkan ini matang – matang, dan keputusan yang kuambil membawaku ke hadapan kedua orang yang sangat berarti untukku saat ini. Keputusan untuk hidup sendiri dan keluar dari rumah yang sudah beberapa bulan ini menjadi tempatku berlindung.

Katanya, Aku BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang