Aku dan Sebuah Perkenalan

10.9K 1.9K 163
                                    

Terkadang, aku berpikir bahwa orang - orang membenciku tanpa alasan, atau mungkin karena aku yang aneh dan menyebalkan? Tapi, kemudian aku sadar, bahwa memikirkan orang yang sibuk membenciku adalah pekerjaan yang paling tidak berguna.

Mungkin, aku kembali relaps. Aku teringat ucapan Tante Mirna dan rasa bersalahku kepada keluarga Om Redi, benar sekali rasanya, aku sangat merepotkan. Mereka menghabiskan waktunya untuk merawat mantan pasien rumah sakit jiwa sepertiku.

Aku tersenyum miris, sambil menatap langit kelabu di atas sana. Langit sedang mendung, tak ada matahari yang tampak, mungkin hanya berkas cahaya saja yang terlihat malu-malu menampilkan diri. Suasana cukup gerah, beruntung AC di apartemen ini masih berfungsi dengan baik. Ini, kali pertama aku mengunjungi apartemen milik papa yang diberikan padaku sebagai hadiah ulang tahun ke delapan belas, ya beberapa waktu sebelum kejadian nahas itu, hadiah terakhir yang kuterima dari papa. Om Redi tidak tahu soal apartemen ini, aku menyimpan kuncinya seorang diri. Lumayan, tempatnya memang tidak terlalu luas, hanya berisi dapur, dua kamar, satu kamar mandi dan ruang tamu. Namun, cukup untuk tempat sementara waktu jika aku ingin menyendiri di sini, atau...ya menetap selamanya di sini. Itu rencanaku jika nanti Dokter Windra sudah memperbolehkanku untuk tinggal sendiri. Aku hanya ingin hidup sendiri, dan mengurangi toksik yang ada dalam hidupku.

Tante Resti: Ran, kamu di mana? Udah mau ujan, pulang ya.

Aku menarik napas, lalu memutuskan untuk membalas pesan Tante Resti, bagaimanapun, aku tidak ingin wanita itu khawatir padaku. Aku tadi pamit ke toko buku, padahal memang sengaja ingin menghindar. Butuh udara segar. Berada di dalam rumah itu terus menerus juga tidak baik, kedua anak Om Redi membenciku. Lingkungan di sana terlalu toksik untukku.

Ranala: Tante, aku perlu waktu untuk sendiri. Enggak usah khawatir, aku baik-baik aja.

Aku lantas memutuskan untuk mematikan ponselku. Biarkan saja, aku sedang ingin sendiri dan tidak ingin diganggu. Saat – saat seperti ini sudah kuimpikan jauh hari setelah aku keluar dari rumah sakit jiwa. Terkadang, aku bertanya pada diriku sendiri, dosa apa yang kulakukan selama ini sehingga semua kesakitan ini mengendap dalam hidupku?

Aku menghela napas, pemikiranku agaknya mulai kembali memburuk, tentu hal ini sangat tidak baik, jika kuteruskan aku akan kembali relaps. Memejamkan mata sejenak, akhirnya aku memutuskan untuk berbelanja. Aku ingin memasak, kegiatan itu menjadi menarik setelah aku tinggal di rumah Tante Resti, wanita itu sering mengajariku untuk memasak, katanya kegiatan itu bagus untuk mengisi jiwaku dengan hal yang positive. Aku memang tidak terlalu bisa memasak, hanya menu makanan sederhana, seperti tumis, sayur bayam, tempe goreng dan beberapa menu rumahan lainnya.

Kuambil tas selempang yang tadi tergeletak di atas sofa, aku segera bergegas untuk ke supermarket yang berada di bawah. Apartemen ini memang satu tempat dengan sebuah mal yang ada di Surabaya. Beruntungnya, Om Redi selalu memasukkan penghasilan dari usaha papa ke dalam rekening yang sedang kupegang, kata Om Redi aku berhak menyimpannya, meski sekarang semua usaha dikelola oleh Om Redi, tapi papa juga menanamkan modal di sana. Om Redi memang orang yang baik, di dunia ini mungkin tidak banyak yang sepertinya, mengurusi orang gila sepertiku dengan tulus seperti anak kandungnya sendiri, tidak semua orang akan mau melakukannya.

Setibanya di mal, aku segera menuju ke lantai dasar, aku ingin segera bertemu dengan sayuran segar yang dijajakan di rak – rak hypermart. Setiap kali berbelanja seperti ini, hatiku sedikit tenang.

Mataku berbinar sewaktu menemukan deretan sayur segar yang terpanjang di sana. Aku lantas mengambil brokoli, baby corn, dan paprika segar berwarna merah. Membuat tumisan tidak buruk juga.

"Ayam atau daging?" seseorang tampak bermonolog. Aku tahu siapa dia.

Dia Ravindra, yang beberapa kali bertemu denganku di tempat dokter Windra dan di kampus. Sedikit heran, laki – laki ini ternyata sedang berbelanja. Dia bisa memasak?

Katanya, Aku BerhargaWhere stories live. Discover now