Aku dan Ketakutan yang Membelenggu

13.6K 2.2K 115
                                    

Hari itu, aku merasa duniaku berakhir. Tidak ada lagi sesuatu berharga yang bisa kuperjuangkan. Semua direnggut, menyisakan sebidang aquarel luka yang tak memiliki obat penyembuh.


Satu tahun lalu...

Suara gaduh itu membangunkanku. Aku masih linglung—jelas saja, terbangun secara mendadak di tengah malam seperti ini bukanlah hal yang menyenangkan. Demi Tuhan, aku baru tidur selama tiga jam, karena euforia menerima pengumuman SNMPTN kemarin. Seharian, aku asik berkumpul dengan teman-teman SMA-ku. Merayakan kululusan SNMPTN. Aku akan segera menjadi mahasiswi UI. Kampus impianku semenjak aku duduk di bangku sekolah pertama, dan aku telah belajar mati-matian untuk menjadi mahasiswa UI.

Mengusap wajahku yang agak berminyak karena baru bangun tidur, aku berjalan menuju saklar lampu yang terletak di dekat pintu. Kalau dalam keadaan tidur di malam hari, biasanya aku memang mematikan lampu kamar, lalu menyalakan lampu tumblr yang menjalar di sepanjang tembok. Kamarku memang girly sekali, banyak boneka di dalamnya, juga tumpukkan novel di atas meja belajar, seperti kebanyakan kamar gadis remaja seusiaku.

Kamarku sudah terang, aku lantas berjalan dengan perasaan tidak tenang. Suara jeritan mama datang dari arah kamar orang tuaku. Tubuhku mendadak panas dingin, aku berjalan dengan kaki gemetaran. Ada apa ini? Hatiku sibuk bertanya sembari terus menuju kamar mama.

Tiba di kamar mama, tubuhku terpaku, ruangan pribadi orang tuaku itu, pintunya terbuka separuh. Sayup-sayup kulihat ada orang lain selain kedua orang tuaku di sana. Aku panik. Siapa mereka?

"Aaaaakhhhhhh...."

"Tidakkkkkk! Seila!"

Itu suara papa. Tuhan, itu suara papa. Aku membekap mulutku dengan kedua tanganku yang sudah berkeringat dingin. Ponsel! Iya, aku butuh ponsel!

Aku tidak ingin membuang banyak waktu, orang tuaku tidak bisa menunggu lama. Aku berlari cepat menuju kamarku lagi. Mencari-cari ponsel yang kuletakkan di atas meja belajar. Aku menemukannya. Benda pipih berwarna rose gold itu seperti harta karun saat ini.

Aku mencari kontak milik Om Redi, tidak tahu lagi harus menghubungi siapa. Aku panik. Panggilan tersambung, tapi tidak juga diangkat. Kulakukan hingga lima kali, sampai akhirnya Om Redi mengangkatnya.

"Om...Ommm....to—long, Papa, Mama. Ada orang jahat, Om...tolong ke sini, bawa polisi, Om. Aku takut, Om. Orang itu mau bunuh Papa dan Mama, Om."

"Rana, kenapa? Orang jahat siapa?" teriak Om Redi, ia kelihatan panik.

"Aku nggak tahu, Om. Aku mohon, selamatkan kami, Om. Om ke sini sekarang, bawa polisi."

"Iya...iya, Om ke sana. Kamu tunggu, tetap bawa ponselmu. Om akan segera tiba."

Panggilan terputus. Tanganku kembali gemetaran, saat kudengar lagi suara teriakan. Dengan sisa keberanian, aku melangkah keluar, kembali ke kamar orang tuaku. Kemana Bibi dan satpam rumahku—Pak Beni? Mengapa mereka tidak membantuku?

Tidak!

"Arghhhhh...bi—biadab!"

Itu suara papa! Itu suara pria yang setiap hari kutemui. Itu milik papa, tidak, mereka membunuh papa. Pisau itu tertancap di jantung papa. Papa, tidak!

"Paa...paaaa..."

Ada yang lepas dari diriku, rasanya sakit sekali. Tuhan, papa dan mama bersimbah darah di atas lantai kamar. Dua orang berpakaian hitam itu tertawa kencang di atas tubuh kedua orang tuaku. Biadab, mereka binatang, mereka bukan manusia.

"Nggakkkkk! Mamaaa....Papaaaaa.....nggak!"

Aku berteriak kencang, aku sudah tidak peduli, kalau saja mereka ikut membunuhku. Biar, biar saja aku mati sekalian. Pria biadab itu memiliki wajah menyeramkan, dengan janggut tebal, bibir mereka gelap, tatapan mata merah dan tajam. Tidak, mereka menghampiriku, dengan senyum mengerikan. Aku memundurkan badanku pelan, ini akhir hidupku? Tuhan....

"Manis...boleh juga, Jon. Sebelum kita bunuh sekalian."

Satu di antara mereka melirik yang lainnya. Lalu mereka terbahak, menertawakan diriku yang tidak berdaya. Aku tidak tahu bagaimana, tahu-tahu, jari-jari gelap dengan kuku hitam itu merayap-rayap di tubuhku. Aku mati rasa, berteriak sekuat tenaga sampai kurasa suaraku telah menghilang. Kemana bibi? Kemana satpam di rumah ini? Kemana mereka semua? Mengapa tidak ada yang mendengarku? Tetangga? Rumah ini besar, jarak antar tetangga cukup jauh, tidak akan ada yang mendengar.

Aku menangis, berteriak, menendang, tapi mereka memegang tangan dan kakiku, bibir gelap itu hinggap di leher, aku gemetaran. Tidak, ini buruk, lebih baik aku mati. Tangan-tangan itu terus merayap di tubuhku, menjijikkan.

Suara sobekan baju, aku mendengarnya. Itu bajuku, piayama kesayanganku. Tangan hina itu semakin kurang ajar di tubuhku. Setan, mereka bukan manusia, mereka lebih rendah dari binatang. Mereka setan! Aku akan mati setelah ini, kalau mereka tidak membunuhku, aku yang akan membunuh diriku sendiri.

"Ranaaaa!"

Itu suara Om Redi. Om Redi, tolong aku. Aku mendengar suara tembakan, dua pria itu ambruk di sampingku dengan kaki yang berdarah-darah.

"Rana, Ya Tuhan. Rana!"

Om Redi panik melihatku, segera Om Redi menutupi tubuh bagian atasku yang terbuka dengan jaket yang ia kenakan. Aku gemetaran, aku takut. Aku, mama...papa. Kegelapan menyedotku, aku tidak lagi merasakan apa-apa. Aku semakin mengantuk dan semuanya hilang.

***

Hari itu, semuanya terenggut. Hari membahagiakan karena aku lulus SNMPTN di UI berubah menjadi bencana yang mengerikan. Kedua orang tuaku terbunuh. Pembantu dan satpam di rumahku disekap di dalam bak kamar mandi, mereka ikut terbunuh karena kehabisan napas. Aku? Aku kotor. Ini mengerikan, aku tidak sanggup hidup. Aku akan mati, iya mati. Mama, papa, tunggu...sebentar lagi aku menyusul.

"Apa, Mas? Motifnya perampokan? Sulit dipercaya, apa benar itu bukan perencanaan pembunuhan?"

Suara Tante Resti. Mereka sedang berbincang, di depanku, agak jauh dari jangkauanku. Aku berada di rumah sakit saat ini setelah peristiwa biadab dua hari lalu.

"Penyelidikan sementara, motif dua pelaku itu adalah merampok."

"Nggak mungkin, Mas. Ini pasti ada yang merencanakan pembunuhan Mas Galih dan Mbak Seila. Apalagi Mas Galih itu jaksa yang banyak menangani kasus-kasus besar di kejaksaan tinggi, nggak mungkin ini cuma perampokan biasa."

"Kamu tenang Res, saya pasti akan menyelidikinya. Kamu pikir, saya ikhlas kakak tunggal saya dibunuh sekeji itu? Saya pasti akan menyelidikinya. Kamu tenang saja, Tuhan tidak akan tidur."

Jiwaku kosong, aku mendadak tuli. Mataku mencari-cari sesuatu. Kematian lebih baik. Ini terlalu menyakitkan. Aku tidak sanggup menghadapinya. Mama dan papa benar-benar meninggal? Mengapa, mereka meninggalkanku seorang diri? Aku tidak sanggup berpijak lagi.

Pisau, ada pisau buah di atas meja. Aku meraihnya, dengan tangan gemetaran, kuiris urat nadiku dengan cepat. Darah mengalir banyak sekali, tidak berhenti. Aku tersenyum puas, sebentar lagi, aku akan bertemu kedua orang tuaku. Tidak ada rasa sakit, rasanya sangat bahagia. Rasa sakit itu seolah mati bersamaan dengan mimpi buruk yang baru saja kualami.

"Ya Allah, Rana!"

Tante Resti menjerit melihat keadaanku. Aku sudah tidak berdaya, napasku mulai putus-putus, pandanganku berkunang-kunang, kepalaku mendadak pusing, badanku dingin. Inikah saatnya, aku bertemu malaikat? Dengan kematian, rasa sakitku akan sirna bukan? Aku tidak harus ditinggal sendirian dan menyedihkan seperti ini.

"Massss, panggil Dokter!"

Aku tidak lagi mendengar apa-apa. Mungkin, ini saatnya aku pergi dari dunia yang menyakitkan ini. Selamat tinggal, tante, om, maaf. Aku tidak bisa hidup tanpa mama dan papa.

Tbc

Menulis cerita ini membuatku bahagia, aku tidak menarget banyak pembaca seperti di ceritaku yang lainnya. Tapi, kalau kalian ingin berjuang bersamaku menyelesaikan cerita ini, mari kita bergandengan tangan. Mari kita hidupkan sosok Rana dan belajar banyak hal darinya.

Duniamu, tidak akan berakhir sekalipun semua yang menyayangimu telah pergi. Akan selalu ada dan datang orang-orang baru yang memberi warna lain dalam hidupmu.

Salam,

Rista.

Katanya, Aku BerhargaWhere stories live. Discover now