Aku, dalam Pandangan Mereka

18.7K 2.5K 299
                                    

Luka itu memelukku terlalu lama. Tak ada lagi yang tersisa. Semua terenggut begitu saja, membuatku mati rasa.


Tante Resti bilang, aku harus lebih banyak bersosialisasi dengan orang lain, agar mempercepat proses pemulihan. Melakukannya begitu sulit, aku seolah terjebak di kegelapan yang tidak memiliki ujung, tidak ada sedikit pun keinginan untuk berbicara dengan orang lain, termasuk keluargaku sendiri. Aku menyukai keheningan, senyap dan gelap adalah tempat ternyaman untukku berdiam diri. Tidak ada siapa pun, hanya ada aku seorang diri bersama bayangan-bayangan yang menjadi teman setiap hari.

"Heh, Cewek Gila! Kamu dipanggil Mama."

Itu suara Disty—sepupuku, anak pertama Tante Resti dan Om Redi. Perawakannya tinggi, rambutnya keriting, tatapan matanya selalu menunjukkan ketidaksukaan terhadapku. Mungkin dia iri? Karena selama satu tahun belakangan ini, kedua orang tuanya sibuk memerhatikanku. Dulu, Disty baik, tidak membenciku seperti saat ini, terlebih lagi, dia seumuran denganku, hanya terpaut dua tahun di atasku.

Aku beranjak dari kamarku, menarik napas sejenak, sebelum memutar handle pintu dan melangkah keluar, menemui Tante Resti. Hari masih terlalu pagi, aku sedikit bingung, mengapa tante memanggilku.

"Ikut belanja, yuk?"

"Belanja?" aku mengulangi ajakan Tante Resti. Wanita paruh baya itu mengangguk, lantas tersenyum hangat padaku.

"Ayo! Biar kamu lebih banyak ketemu orang, kata Dokter Windra kan baik buat mentalmu. Ikut ya?"

"Iya."

Aku mengekor di belakang Tante Resti dengan masih mengenakan piayama bergambar doraemon yang dibelikan mama dua tahun lalu. Memakainya, terasa seperti memeluk mama, membuatku tenang dan merasa damai.

"Pagi Bu Redi."

Seseorang menyapa tante. Wanita paruh baya yang memakai daster berwarna ungu. Sepertinya tetangga tante. Aku memang tidak tahu menahu soal tetangga tante. Karena selama tinggal di sini, aku lebih banyak berdiam diri di dalam kamar tanpa melakukan apa pun, tapi, sesekali tante akan mengajakku keluar, mengunjungi mall misalnya.

"Pagi, Bu Hamdan," balas Tante Resti.

Beberapa orang menatapku aneh, dengan alis berkerut, ada juga yang sedang berbisik-bisik. Mungkin mereka menggosipkanku? Mengapa si mantan pasien rumah sakit jiwa ini pagi-pagi sudah mengekori tantenya. Tante Resti sendiri sibuk memilih belanja di tukang sayur. Tukang sayur ini mangkal di perempatan kompleks, tidak terlalu jauh dari rumah Om Redi. Memang bukan rahasia lagi bukan, jika kebiasaan belanja di pagi hari seperti ini, banyak diisi oleh ibu-ibu kompleks dan pembantu mereka.

Sebenarnya, di rumah Om Redi juga ada pembantu, Bi Karti namanya. Tapi, untuk urusan belanja, Tante Resti memang suka melakukannya sendiri, semnetara Bi Karti akan sibuk untuk membersihkan dapur dan rumah.

"Itu keponakannya yang kemarin di rumah sakit jiwa ya, Bu?"

Pertanyaan dari wanita yang dipanggil Tante Resti sebagai Bu Hamdan itu membuat air muka Tante Resti berubah. Ada gurat ketidaksukaan ketika wanita itu bertanya tentangku, namun, dengan cepat, Tante Resti mengubah raut wajahnya.

"Iya, ini keponakan saya. Namanya, Rana. Dia sudah baik-baik saja kok, Bu. Alhamdulilah sudah sembuh."

Wanita itu tampak tersenyum tipis, matanya masih menatapku, memberiku pandangan kasihan. Sejujurnya, aku tidak perlu dikasihani, aku tidak terlalu menyukainya. Rasanya, malah menggangguku.

"Rana, kamu mau makan apa buat sarapan?" tante bertanya kepadaku.

"Apa saja," jawabku sekenanya.

Katanya, Aku BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang