Aku yang Kembali Ditinggalkan

1.4K 327 57
                                    

Satu hal yang selalu melintas di kepalaku. Apa aku nggak layak untuk disayangi? Apa, selamanya aku harus berteman dengan rasa sepi dan sakit yang nggak memiliki obat penyembuh?

Sejak hari itu, aku seperti kehilangan Aruna. Dia menghindariku, bahkan semua pesan yang kukirimkan tak kunjung dibalas. Sepulang dari Malang, Aruna menjadi sosok yang berbeda, Aruna menjadi jauh, seolah-olah, tak pernah ada kedekatan di antara kami. Atau, selama ini ... hanya aku yang menganggap bahwa kami adalah sepasang sahabat? Apakah Aruna pada akhirnya sadar, dan ia malu memiliki teman sepertiku?

Aku seperti hilang arah. Aku tidak punya teman akrab saat ini, kecuali Aruna. Saat ia menjauh, aku terasing. Kembali seperti Ranala yang dulu, Ranala yang sendiri dengan kekosongan yang semakin menjadi-jadi. Cokelat panas yang barusan kuminum rasanya semakin pahit, kenyataan hidup membuatku kadang berpikir bahwa ... menyerah itu lebih baik. Tapi, aku sadar, menyerah nggak akan pernah bisa menyelesaikan masalah.

"Ranala, kamu bisa nggak sih, berhenti ngerepotin Mama sama Papa?"

Aku cukup terkejut dengan kedatangan Disty, ia tiba-tiba saja sudah berada di depanku dengan pandangan mata yang menyala-nyala. Kenapa lagi? Beberapa pengunjung kedai kopi tempatku menghabiskan kesendirianku mulai memperhatikan kami, dan darimana juga Disty tahu perihal keberadaanku di sini?

"Apa lagi? Aku sudah keluar dari rumah kamu, dan aku nggak ngerasa ngerepotin Om sama Tante lagi. Nggak untuk saat ini."

"Halah, dasar nggak tahu diri! Papa sama Mama bolak-balik ke kantor polisi buat ngurusin pembunuh orang tuamu, Rana. Bisa-bisanya kamu pura-pura nggak tahu?"

Aku menghela napas, aku hampir melupakan soal itu. Mungkin karena kesibukan kuliah, aku nggak terlalu memikirkan tentang siapa yang membunuh kedua orang tuaku. Aku juga sibuk memulihkan diri. Memang, Om Redilah yang mengurus semuanya selama ini.

"Maaf, jadi ... kamu mau aku gimana?"

"Bilang sama Papa dan Mama buat berhenti ngurusin kasus kematian orang tua kamu, toh ... mereka udah mati."

Aku memejamkan kedua mataku. Sakit sekali rasanya, mendengar ucapan Disty. Memang benar, orang tuaku sudah meninggal, tapi ... apakah mereka nggak berhak untuk mendapatkan keadilan?

"Mama dan Papa berhak mendapatkan keadilan, meskipun mereka udah nggak ada. Tapi, siapa pun pembunuhnya, tetap harus mendapatkan hukuman yang setimpal."

Disty tertawa, ia seperti mencemoohku. Pandangannya begitu merendahkan, membuatku merasakan sakit hati sekali lagi. Dari awal, Disty memang tidak menyukaiku, aku cukup sadar tentang hal ini. Apalagi, saat Om Redi dan Tante Resty fokus mengurusku dulu, kebencian Disty semakin menjadi-jadi.

"Kamu bisa kan urus semuanya sendiri? Papa jadi sering sakit karena ngurusin hal beginian, dan tentu saja jadi mengabaikanku."

"Disty, aku nggak tahu harus minta tolong sama siapa lagi selain sama Om Redi. Aku minta maaf buat itu."

"Aku nggak butuh maaf kamu Rana, aku butuh kamu pergi dari kehidupan keluargaku. Kamu itu benalu, tahu nggak?"

Tanganku gemetaran, sudah cukup Disty menghinaku habis-habisan, apalagi kami menjadi sorotan orang-orang. Aku menghela napas, lalu berdiri dari dudukku.

"Disty, jangan sampai kamu merasakan apa yang kurasakan. Roda kehidupan itu berputar, takdir Tuhan nggak ada yang tahu. Kamu pikir, aku mau jadi kayak gini? Nggak! Kalau boleh memilih, aku ingin kedua orang tuaku hidup lagi, dan nggak ngerepotin keluargamu."

Aku menyeka air mata yang membasahi pipi. Aku berusaha untuk menekan emosi yang memuncak, karena perkataan Disty begitu melukaiku. Sejujurnya, selama ini aku sudah cukup kuat menahannya, namun hari ini, kesabaranku mencapai batas. Ucapan Disty terlalu buruk.

Katanya, Aku BerhargaWhere stories live. Discover now