[1] "Deliberately Done; Outwit The Enemy."

1.1K 137 19
                                    

GEMELUTUK sepatu pantofel menyentuh permukaan lantai menggema jelas dilintasan menuju ruang kepala sekolah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

GEMELUTUK sepatu pantofel menyentuh permukaan lantai menggema jelas dilintasan menuju ruang kepala sekolah. Hentak-hentakan kesal mengekspresikan sikapnya kali ini, tak perlu heran lagi jika staf-staf sekolah memandangi biasa saja.

PANGGILAN UNTUK SISWI XI MIPA 1, ATAS NAMA GUINNEVERE NORAA GANDASASMITHA, HARAP SEGERA KE RUANGAN KEPALA SEKOLAH. TERIMA KASIH.

Suara yang terdengar hingga penjuru sekolah, berasal dari ruang penyiar radio, membuatnya semakin menggerutu kesal. Ia mempercepat langkah kaki menuju ruangan dimaksud. Akses keluar-masuk berwarna putih itu terbuka, menapaki satu-persatu ubin dingin dengan wajah pucatnya.

Menghantarkan hawa tak nyaman—seperti tak ada nyawa satupun di dalamnya-semua hampa. Noraa memasrahkan lembaran makalah itu sebelum kata-kata pedas terucap kembali.

Desas-desus kesal menjamah erat ruang indra pendengaran. Berdo’a dan berandai-andai saja Tuhan memberinya kekuatan menghentikan waktu, dipastikan seseorang berpakaian jas formal ini melayang entah kemana. Ia melirik malas, seperti mengabaikan.

Sekolah swasta berbasis internasional lokal—maupun non-lokal sudah terkenal luas penjuru dunia. Bahkan, dijunjung tinggi mengenai prinsip dasar yaitu prestasi teratas, sebagian murid-murid berkuasa dengan nama belakang masing-masing.

“Noraa ...,” panggilnya lirih, memulai pembicaraan. “Prestasimu kali ini benar-benar buruk.”

Si tokoh hanya bisa mengembuskan napas lelah sambil menahan mulut agar tak mengeluarkan sumpah-serapahnya dalam hati. “Nilaimu hancur.”

Tubuhnya benar-benar kaku, hanya menggerakkan jejemari lentik menggenggam ataupun melepaskan otot-otot tangan. Seperti ada benang merah melilitnya dan memobilisasikan sesuka hati.

Bau nikotin berbaur hembusan angin AC menyeruak indra penciuman. Ia benar-benar sengsara, takut, panik. Kala jejemari laki-laki itu mengarah pada almamater biru tua melekat ditubuh, mengarah pada sebelah kiri—tepat pin berbentuk zodiak—merupakan penghargaan murid unggulan berprestasi yang Noraa dapatkan juga. Dengan sentuhan warna gold bermaterialkan tembaga khusus.

Ia menghindar cepat. “Papah! Pin ini 100% sudah menjadi milikku, jangan—”

“Prestasimu menurun, Noraa! Lihatlah lembaran makalah ini, semua salah. Asal-asalan, tidak direvisi sebelum mengumpulkan, ide melenceng dari judul.”

Dengan dongkol, laki-laki itu membakar habis tak tersisa hasil kerja keras dari Noraa selama 2 Minggu penuh. Berubah menjadi abu, ia menginjaknya puas lalu memandang bengis orang di hadapannya. “Pin ini lebih berguna dengan murid-murid lain yang mengejar nilai mati-matian ...”

HOMICIDESWhere stories live. Discover now