[8] "Page 175; Prohibit Participating."

260 36 1
                                    

EZRA merebahkan diri di atas singgasana ternyaman menurut para remaja, menatap langit-langit kamar berhias jejaring laba-laba yang jarang dibersihkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

EZRA merebahkan diri di atas singgasana ternyaman menurut para remaja, menatap langit-langit kamar berhias jejaring laba-laba yang jarang dibersihkan. Tubuhnya terasa remuk setelah melakukan perjalanan panjang, ditambah lagi tugas belum selesai membebani pemikirannya.

Kost-kostan terlihat sepi, hanya beberapa kicauan burung melintasi atap rumah meninggalkan suara bising. Deringan handphone mau tak mau harus diangkat. “Shalom, Mah,” sapanya dengan suara berat.

Ez ... akhir semester nanti pulang kan?  Mamah ada sedikit rezeki buat rayain ulangtahun kamu yang ke 18.

Hati Ezra terenyuh, sudah berapa lama ia tak mendengar suara lembut dari sang Ibu yang berada jauh darinya. Rasanya ingin sekali tertidur dalam pangkuan beliau sambil bercerita meluapkan seluruh jalan hidupnya.

Saat ini, posisi Ezra terduduk memeluk bantal dan menenggelamkan wajah di sana. Memerlukan waktu membuat kata-kata meluncur sebelum didengar oleh orang di seberang sana. Andai saja beliau tahu kelakuan anaknya seperti ini, hampir berulang kali ter-drop out ataupun beasiswanya tercabut.

Sambil mengembuskan napas pelan, ia memijit pelipisnya. “Maaf, Mah. Ezra nggak pulang dulu, lagi pun ulangtahun gak ada spesial-nya. Cukup Tuhan memberkati saja sudah cukup,” ujar cowok itu sambil mengulas senyum.

Senyum itu bukan sembarang, senyuman tulus yang hanya diperlihatkan pada ibunya walaupun tak ada di sini. Bahkan, ketiga temannya sama sekali belum melihat jatidiri sebenarnya. “Oke ... kamu di sana giat belajar, manfaatkan beasiswa itu sebaik-baiknya, ya.Respons tersebut berbeda dari awalan.

“Iya, Mah ... mau tidur dulu, ya.”

Selama hampir 2 tahun terjebak dalam situasi ini. Membuat Ezra sadar jika menciptakan bualan semata yang mengundang orang-orang mendekati karena bualan tersebut. Jika satu kali saja Tuhan memberinya kekuatan memutar waktu, ia memohon agar tak bertemu orang-orang sialan itu. Setiap pulang sekolah, Ezra harus menghindar ataupun menunggu dalam sekolah, membiarkan seluruh murid pulang lebih dulu.

Inilah akibatnya. Bisa dirasakan sendiri setelah beberapa waktu dilalui secara lancar. Akhirnya akan muncul pada masanya. Ezra mengerang sambil meremas dan mengacak-acak rambutnya kasar. Frustasi. “Ah, terserah!” 

[] [] [] [] []

Lagi-lagi Cava mengacaukan semuanya. Untuk ke sekian kali membuat keputusan yang salah.

Kenapa selalu seperti ini?

Apakah Tuhan menciptakan dirinya hanya untuk menjadikan diri ini menjadi sosok yang tak berguna? Sekedar mampu menghancurkan harapan orang-orang tanpa becus sedikitpun coba memperbaiki.

Seberapa keras Cava berusaha, pada akhirnya cuma berujung kegagalan yang tak ada habisnya. Konyol, sungguh konyol. Masih perlu mengasah pola pemikiran lebih banyak lagi, belajar dari sang motivator utama. “Raa ... sorry.

HOMICIDESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang