[11] "Noraa; And His Jealousy."

171 23 2
                                    

BAGAIMANA dengan nasib orang lain, yang ingin melanjutkan pendidikannya, tetapi terhalang oleh ekonomi?” Di ruangan kedap suara, hening menyelimuti sekitaran, memunculkan gema pada pita suara saat keluar dari kerongkongan.

Laki-laki itu menghentakkan sepatu pantofel-nya. “Lihatlah dirimu. Kurang harta apalagi? Hidup berkecukupan, sekolah di swasta internasional. Tetapi masih bermalas-malasan. Mau jadi apa kamu?”

Pertanyaan terlontar dari seorang ternama di area sekolah maupun luaran, mampu menusuk ulu hati cewek berumur 17 tahun baru-baru ini. Remasan pada almamater dikenakan membuat kusut pada bagian saku. Suara gemelutuk gigi beradu—seolah menahan umpatan kata-kata kasar terpaksa dipendam dalam-dalam.

“Tugas persemester—”

“Papah nggak membahas arah situ, tetapi perilaku dan prestasimu. Semua menurun, akhir-akhir ini tak terlihat di atas meja belajar. Apa hubunganmu dengan Re sekarang?!” geram Enzo menyebut nama ‘Re’, tentu saja Noraa tidak terima temannya dibawa-bawa masuk ke dalam masalah ini.

Seperkian detik, ia berdiri. Melepas pin Aries lalu meletakkannya di atas meja berlapis kaca kasar. Tatapan tajam menghunus siapapun di depannya. “Jangan membawa orang lain dimasalah ini.”

“Terus apa, Noraa?! Karena dua teman brengsek-mu, kau menjadi pembangkang? Lihatlah Ezra, dia begit—”

“Ezra, Ezra, Ezra! Terus saja Papah menyebutkan murid kesayangan itu. Angkat dia sebagai anak kalau Papah begitu menyayanginya!”

Cewek itu melenggang pergi meninggalkan ruangan, tak memperdulikan teriakan-teriakan dari dalam. Dirinya sudah muak mendengar ocehan serta pembandingan dengan Ezra.

Apalagi setelah mengetahui jika kemarin, Enzo dan Francesca mengajak Ezra makan malam di sebuah restoran. Tanpa ada dirinya yang notabene sebagai anak kandung. Kedua tangannya terkepal erat, raut ekspresi tak suka mengarah pada cowok itu, saat tertawa lepas bersama gerombolannya.

Kediaman Noraa begitu tenang, dirasa tidak bertemu dengan penganggu baru-baru ini. Ketenangan seolah menyelimuti hatinya, setelah mengerjakan tugas per-semester bersama Cava di cafe, keputusan pulang kembali karena Francesca menelepon membuatnya bergegas.

Akan tetapi ... semua harapan musnah. Ia kira seperti pada keluarga umumnya, menghabiskan waktu bersama dengan makan malam. Tidak, itu tidak mungkin terjadi. Sesosok cowok berbadan tegap menatap dirinya dalam—siapa lagi kalau bukan Ezra.

“Noraa. Kami menyuruh Ezra untuk menemanimu ke tempat les piano hari ini. Bersiap—”

“Noraa bisa sendiri.”

“Jangan menolak permintaannya, turuti saja.”

“Gak baik berduaan sama cowok, ajak Re—”

“Noraa,” peringat Francesca menatap permusuhan pada anaknya itu. Sedangkan yang ditatap hanya memutar bola mata malas sembari menaiki anak tangga satu-persatu.

Noraa baru saja selesai mempoles wajahnya dengan make-up tipis-tipis. Cewek itu refleks menoleh dan berdecak kes saat matanya menangkap sosok Ezra berdiri tanpa ekspresi dengan tangan dilipat ke depan dada.

Ingin sekali ia menghajar wajah tampan itu tanpa ampun. Memberikannya pelajaran agar tak membuka pintu sembarangan.

Come on, Pretty,” kata Ezra sembari menatap Noraa dari pantulan kaca.

Noraa menarik napas panjang demi mengatur emosi untuk tidak menggelegak. “Keluar, gue belum selesai,” balasnya sambil menata make-up di atas meja riasnya.

Kekehan kecil itu menembus indra pendengarannya, menciptakan hawa merinding saat tangan Ezra menyentuh puncak rambut Noraa dan mengacak-ngacaknya. “Pantes aja Re suka. Lo lucu, dasar cebol,” ledek Ezra seraya bergerak mundur beberapa langkah, mengetahui temannya tak terima begitu saja.

Cewek itu tak merespons apapun. Lebih memilih meninggalkan Ezra yang membuntuti beberapa cm di belakang. Layaknya anak ayam mengikuti induknya. “Guin,” panggilnya membuat Noraa menoleh cepat.

“Ezra ... lo nggak punya hak apapun, jangan bersikap seperti orang dekat yang berhak manggil gue dengan panggilan itu.” Peringatan itu hanyalah sebuah gertakan agar cowok itu mengerti, bahwa Noraa tak menyukai kehadirannya di sini. Begitu menganggu.

Satu hal mampu menarik kecemburuan paling parah sewaktu menaiki anak tangga tadi, Francesca mengecup kening Ezra seperti anak kecil—lebih tepatnya anak sendiri—padahal Noraa tidak pernah mendapat perlakuan begitu manis tersebut.

Awalnya tak ada pikiran macam-macam, mengetahui kedua orangtuanya mengadakan beasiswa pada umumnya. Namun, seiring berjalannya waktu, Noraa begitu menyesal telah menyebut nama Ezra waktu itu—meskipun tujuan utama hanya membantu.

“Kenapa lo benci gue, Raa?” tanya Ezra.

“Sikap lo. Gue benci,” jawabnya singkat sembari memperdekat jarak diantara mereka berdua.

“Berhenti bersikap kekanak-kanakan, Raa ....” Cowok itu mempertaut jari-jemari mereka, menggenggamnya erat lalu mengelus punggung tangan orang di hadapannya dengan lembut.

Lantaran tak bisa menahan emosi karena ucapan tadi, Noraa melepas paksa dan mendorong sekuat tenaga dada bidang itu. Bunyi benturan dengan tembok sama sekali tak ada respons padanya. “Lo duluan yang mulai!” teriak Noraa keras.

Di tengah rasa emosi itu, Noraa tertawa keras—seolah menertawakan kebodohan dirinya sendiri setelah menerima takdir jika seperti ini. “Kedudukan gue sebagai anak semata wayang di sini, lo rebut ... Gimana gak marah? Dari dulu gue cuma pengen disayang. Disayang, Ezra!”

Dengan dada terasa sesak dan nyeri, serta tangan bergemetar, Noraa mempertipis jarak mereka lalu membenamkan wajah di dada bidang Ezra. Tak peduli jika sweater di kenakan itu bawah. Tubuh cowok itu terdiam tak merespons apapun. Ia akhirnya mengetahui sebab apa temannya menjauhi dan terlihat benci padanya, karena terbutakan oleh kasih sayang.

Hembusan napas panjang menerpa rambutnya, Ezra memeluk Noraa kuat sembari berbisik dan melihat keadaan sekitar karena terlalu berbahaya. “Sebuah janji.

••

•••
••

A/N : Finally, stlh 2 bulan mengalami writer’s blocks, up jg cerita 1 ini.

HOMICIDESWhere stories live. Discover now