38 ÷ 2 + 30 - 11

142K 28.3K 8.6K
                                    

"Lo mau apa?"

Ale menahan pintu kulkas minimarket sembari menoleh ke arah Aurora yang sedaritadi membisu. "Kopi?"

Ada dua kemungkinan yang memenuhi benak Aurora saat ini. Satu, kepala Ale pasti terbentur sesuatu waktu dia meninggalkannya di kelas tadi, atau dua, cewek itu memang punya kepribadian ganda.

"Gue nggak minum kopi instan."

"Ohhh, sorry, gue nggak biasa main sama anak konglomerat sih."

Tapi melihat gayanya yang masih suka memancing keributan, Aurora rasa yang berdiri di depannya ini Ale yang dia kenal. Rambut ungu itu akhirnya memilih minuman isotonik dan menutup pintu kulkas, kemudian melangkah menuju kasir.

"Ini aja, Kak?"

"Iya, nggak ada tambahan, nggak punya kartu member, nggak mau beli pulsa, dan nggak pake kantong plastik."

Oke, galak. Berarti Ale masih sehat.

Aurora mengikuti gadis itu keluar minimarket tanpa berkomentar apa-apa lagi. Ale memimpin langkah menyusuri trotoar, membuka tutup botol minuman, dan meneguknya beberapa kali.

"Rumah gue deket sini. Lo mau jalan atau naik taksi?"

"Kenapa?"

"Ya karena lo biasanya dianterin Alphard—"

"Kenapa nolongin gue?"

Langkah Ale melambat, sebelum akhirnya berhenti. Gadis itu memutar tubuh, menatap Aurora.

"Gue udah bilang gue nggak butuh—"

"—empati, iya, gue udah denger."

"Kalo gitu kenapa—"

"Dulu Kenan selalu nawarin gue nginep di rumahnya," potong Ale. "Setiap kali nilai gue turun dan gue takut pulang, karena pasti bakal dimarahin nyokap."

"Dan hubungannya sama gue adalah?"

"Kalo lo pernah sakit, lo bakal jadi lebih peka sama orang-orang yang ngerasain hal yang sama."

"Tapi gue nggak sakit," bantah Aurora. "Gue nggak sama kaya lo."

Ale mengangkat satu alis. Ada jeda yang singkat sebelum rambut ungu itu meletakkan minumannya ke tanah, menarik lengan Aurora, dan membuka paksa telapak tangannya.

Memperlihatkan lima bercak darah bekas tancapan kuku di sana.

"Apa bedanya—" Ale mengulurkan tangan kirinya sendiri dan menarik gelang-gelang yang menutupi beberapa lajur sayatan, "—sama gue?"

Aurora refleks menelan ludah.

"First thing first. Terima." Ale melepaskannya. "Terima diri lo yang lemah. Karena itu satu-satunya cara buat jadi kuat."

Aurora balas menatap sementara Ale memungut minumannya, berbalik, dan melanjutkan langkah yang sempat terputus. Balerina itu diam di tempat selama beberapa detik. Kata-kata Ale selalu tajam, tapi Aurora bisa merasakan kali ini gadis itu tidak berniat menyakitinya.

Dia menghela napas, sebelum bergegas menjajari jejak kaki Ale.

"Bokap gue."

Adalah pernyataan pertamanya.

"Dia orang yang berorientasi sama hasil, bukan proses. Dia nggak mau tau gue belajar berapa jam sehari. Yang dia mau tau cuma nama gue ada di peringkat berapa."

Aurora menyisipkan rambutnya yang diterpa angin ke belakang telinga.

"Dia selalu bilang dia peduli karena gue anaknya, tapi kadang gue ngerasa, gue nggak lebih dari sekedar aset di mata dia. Kaya anak perusahaan yang output-nya harus profitable."

A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang