245K 33.6K 42.1K
                                    

"Direktur Bina Indonesia adalah Ibu, Mas."

Ada tawa di tenggorokan Re yang kering, tawa yang memaksa lolos dari bibirnya, tapi rongga paru-parunya menolak. Tidak ada udara di sana. Oksigennya diraup habis dan otaknya tidak bisa bekerja. Tidak mampu mencerna kalimat yang baru saja mengetuk timpaninya.

Laki-laki itu tidak perlu melihat sekeliling untuk tahu bahwa teman-temannya bereaksi sama. Tidak ada yang memiliki kemampuan bernapas normal setelah dihujam pernyataan yang entah kebenaran atau kebohongan— tapi apa pun itu, rasanya keterlaluan. Rasanya seperti melalui begitu banyak rasa sakit dan pengorbanan hanya untuk menemukan bahwa mereka dipermainkan. Bahwa seseorang yang setengah mati ingin mereka temukan selama ini justru berada di dalam jangkauan, di dalam genggaman.

"Bohong."

Hanya itu yang bisa Re katakan.

Entah siapa yang bohong, entah siapa yang dibohongi, entah siapa yang membohongi diri sendiri. Yang jelas dia tidak ingin percaya bahwa ibunya adalah Direktur Bina Indonesia.

Pasti ada penjelasan lain. Pasti.

"Kalau memang Ibu Direktur Bina Indonesia, kalau memang Ibu pemilik Bina Indonesia, kenapa Re nggak pernah tahu?"

Ya, kenapa?

"Kenapa Ayah nggak pernah tahu?"

Pasti ada penjelasan lain. Pasti...

"Ibu nggak mungkin, kan, membohongi keluarga kita selama ini?"

Seumur hidup Re, hanya ada satu hal yang benar-benar laki-laki itu percayai. Hanya ada satu hal yang dia pegang kuat-kuat dan mencegahnya tenggelam selama ini. Bahwa keluarganya pernah baik-baik saja. Bahwa setidaknya ada satu masa di mana Re pernah memiliki ayah, ibu, dan adik perempuan di bawah satu atap yang sama, bahwa Re pernah punya rumah untuk pulang, bahwa Re pernah punya orang-orang yang tidak akan mengecewakannya, menyembunyikan sesuatu darinya, atau membohonginya.

Dan kini, satu-satunya hal yang dia percayai itu, perlahan-lahan lolos dari sela-sela jemarinya. Hilang ditiup angin.

Hilang bersama dengan Nadia yang menatap udara kosong, menatap sesuatu yang tidak ada di sana. Re bisa melihat lingkaran hitam di bawah mata yang sembab, Re bisa melihat garis-garis halus penanda usia di balik butiran bedak yang tersisa—

"Ibu nggak pernah membohongi keluarga kita."

Tapi ketika Nadia mulai bicara...

"Ibu nggak pernah membohongi keluarga kita karena Ibu menjadi Direktur setelah keluarga kita hancur."

...Re tidak bisa melihat apa-apa selain bahwa ibunya juga terluka.

"Sejak kecil Ibu tahu Ibu punya sesuatu yang spesial, Mas. Sesuatu yang tidak semua anak miliki. Sesuatu yang kalian miliki. Keajaiban persis di sini."

Nadia menyentuh sisi kepalanya dengan ujung jemari.

"Masalahnya adalah pendidikan saat itu tidak dibebaskan untuk segala kalangan. Pendidikan saat itu punya harga tinggi, dan tidak ada beasiswa sekalipun kamu bisa meraih peringkat pertama. Bahkan jauh lebih sulit lagi kalau kamu perempuan." Nadia mendengus. "Tidak ada yang peduli pada anak perempuan jenius yang punya mimpi jadi orang nomor satu di negeri ini."

Re bisa merasakan ada ombak memori yang mengguyur ruangan itu.

"Kecuali satu orang."

Dia bisa merasakan ketidakberdayaan Nadia seiring wanita itu bercerita.

A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang