45 + sin 0° × tan 45° - 0

165K 28.5K 15.8K
                                    

Ada sengatan perih pada setiap jengkal permukaan kulit yang disembur air dingin.

Shower itu menyala dalam tekanan maksimal, berisik, mengguyur laki-laki yang berdiri di bawahnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Di lantai kamar mandi, merah bata menyebar, warna khas darah kering bercampur bekas Rivanol.

Re Dirgantara sudah setengah jam memandangi buku-buku jari yang epidermisnya rusak, bertanya-tanya sekeras apa pukulan yang dia jatuhkan ke sisi kepala Kenan Aditya tadi siang.

Lo mungkin jenius, Re, tapi kita semua tahu nyokap lo jauh lebih jenius.

Di sudut otaknya, putaran pertanyaan tak berdasar itu bertabrakan dengan bunyi-bunyi lain.

Gue sayang lo, tapi lo sayang perempuan lain di dalam diri gue.

Memantul ke dinding, ke sela-sela gemericik air, kemudian menggaung ke seluruh ruangan.

Lo kacau, Re.

Jemari Re spontan bergerak mematikan shower, separuh memaksa gaung itu berhenti. Tapi rupanya itu keputusan bodoh, karena sekarang hening malah memojokkan gema tangis seorang gadis ke dinding-dinding kepalanya. Mata Re dipejamkan.

Sialan.

Butuh beberapa waktu bagi laki-laki itu mencoba tenang, sementara air perlahan menetes dari ujung-ujung rambutnya, mengalir ke tulang-tulang rawan telinga, kemudian jatuh ke pundak yang dipegangi telapak. Jangan gemetar, dia masih sempat menggertak. Jangan... jangan...

Menahan diri agar tidak luluh lantak.

Setelah Re pikir dia bisa kembali bernapas normal, laki-laki itu keluar dari bilik kamar mandi dan berhenti di depan cermin. Jemarinya mengusak handuk asal ke kepala, sebelum pada akhirnya menyeka poni yang basah. Tatapnya jatuh pada laki-laki babak belur di pantulan cermin, dan sesuatu membuatnya tertegun.

"Poni lo kepanjangan, tau."

Bahkan sampai di sini, suara-suara itu masih saja terdengar.

"Iniiii, tuh, panjang banget. Emangnya nggak risih?"

Sesi belajar ke sekian di rumah Kai. Sementara si gadis bergelung bosan di atas sofa, Re duduk menyandar beralaskan karpet, merapal hasil limit dua x tambah delapan dalam otak, nyaris tidak mendengarkan.

"Nggak, kok, Kai, nggak risih."

Laki-laki itu baru mengangkat wajah ketika Kai menjawab pertanyaannya sendiri dengan bibir mengerucut, setengah menyindir. Re tertawa. "Nggak kok, Kai, nggak risih," ulangnya menirukan, sebelum memutar tubuh, membiarkan jemari yang perempuan lebih leluasa menyelusup ke antara helai-helai poninya.

"Dulu rambut gue selalu dipotong sama Ibu."

Re akhirnya memberitahu, sedikit malu.

"Makanya sekarang jadi nggak... keurus gini."

Yah, siapa juga yang tidak malu mengaku kalau berandal sepertinya masih jadi 'anak ibu'?

Kai tertawa kecil. Gadis itu beringsut duduk, menyentuh dan memosisikan wajah Re lebih dekat, seolah ingin mengukur panjang poni laki-laki itu dengan jejemarinya. Re memejamkan mata. Berandai-andai waktu berhenti dan dia bisa merasakan momen itu selamanya.

"Mau gue potongin, nggak?"

Matanya terbuka.

Tapi bukan Kai yang ada di cermin sana. Masih dirinya sendiri, luka di sana-sini. Re mengangkat jemari, merapikan poni yang ujungnya sedikit tidak rata, hasil karya Kai dan spontanitasnya. Laki-laki itu menelan ludah. Teringat Kai yang selalu impulsif, selalu tidak tertebak, selalu meledak-ledak. Sesak.

A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang