22 - 5 + 105 - 10^2

161K 27.2K 3.2K
                                    

.

Kalau ditanya apa yang membuat Aurora masih bisa bertahan sampai hari ini, mungkin jawabannya adalah balet.

Balet adalah hal pertama yang mengajarkan dia cara mengatur rasa sakit.

Cara berjinjit, melompat, dan berputar di udara dengan cantik. Cara terlihat sempurna, cara berpura-pura bahwa tidak ada yang menyakiti perasaannya.

"Kenapa?"

Balet selalu jadi jawaban. Pelarian untuk hari-harinya yang datar dan melelahkan. Sedikit hiburan di ujung soal matematika rumit dan hafalan klasifikasi makhluk hidup.

"Kenapa balet, Pa?"

Hari ini, Aurora pikir, adalah hari terburuk sepanjang hidupnya. Lebih buruk dari pada saat nilainya turun atau bisnis papanya terancam bangkrut.

Hari ini IDT menghubunginya dan bilang bahwa keanggotaannya sudah dicabut secara permanen atas permintaan Antonio Wimana. Tanpa aba-aba. Tanpa peringatan apa-apa sebelumnya.

Begitu saja, seolah papanya hanya sedang memutuskan mau liburan ke mana di akhir pekan.

"Papa udah janji nggak akan pernah ngerebut yang satu ini dari Aurora."

Getir.

Hanya itu yang bisa dia rasakan.

Satu-satunya akses Aurora menuju mimpinya, satu-satunya alasan dia mengizinkan dirinya sendiri berharap, satu-satunya tempat Aurora merasa hidup.

"Papa tau ini satu-satunya hal yang bikin Aurora bahagia."

Antonio mendengus. Seluruh perkataan putrinya terdengar konyol.

"Kalau kamu belum masuk tiga besar, kamu nggak berhak bahagia."

Laki-laki itu punya nada sedingin dan setajam es. Dia hanya ingin Aurora jadi pintar. Lebih pintar dari dirinya yang sekarang. Apa yang begitu rumit?

"Jangan main-main kamu, Ra. Kurang beberapa bulan lagi sudah Ujian Nasional."

Seolah Aurora bisa lupa.

Gadis itu mendengus pelan.

"Sampai kapan Papa mau gini?"

Antonio melirik tajam. "Apa maksud—"

"Sampai kapan Papa mau kontrol hidup Aurora terus?"

Laki-laki yang lebih tua itu tertawa. "Itu urusan saya. Kamu anak saya."

Pembenaran beracun yang mendasari keluarga mereka. Membuat Aurora mual.

"Jadi Aurora nggak punya hak atas hidup Aurora sendiri?"

"Selama kamu masih belum becus menggarap soal-soal itu, saya yang ambil keputusan."

Itu jawabannya.

Aurora mengangguk, linglung. "Jadi nggak ada gunanya.." Dia menggumam sendiri. "Ikut Asian Grandprix.. bawa pulang emas.. buat Papa.. nggak ada gunanya sama sekali?"

Rasanya konyol.

"Baru sadar kamu?"

Harapan-harapan itu..

Aurora menggeleng, berbalik, melangkahkan satu kaki di depan kaki lainnya, menaiki tangga. Masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya.

..akhirnya melukainya sendiri.

Ada saat-saat di mana Aurora merasakan tubuhnya memberat, kedua lututnya tertekuk, dan tubuhnya jatuh merosot ke lantai. Ada saat-saat di mana perih di telapak tangannya semakin terasa begitu bersentuhan dengan dinginnya keramik, darah yang serupa menempel di ujung kukunya seperti cat merah tua kotor.

A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang