Day 13

17 4 0
                                    

Tema: Tersesat

Ini lanjutan cerita utama, jadi genrenya fantasi ala-ala.

****

Berapa lama waktu yang dibutuhkan dari Danau Utara di Catalyn sampai ke Kota Gunung?

Aku tidak tahu. Meski aku menciptakan latarnya, aku tidak pernah mengkalkulasi keduanya. Pasalnya, Rehan dan Tora memang berasal dari universe yang berbeda ... mestinya. Maklumlah, namanya juga author, suka cross-over.

"Mereka akrab banget di belakang, enggak apa-apa?" tanya Deha sambil menunjuk Rehan dan BZ yang tampak mengobrol--atau cekcok--di belakang.

"Ya, enggak papa, dong. Kalau saling jorok-jorokan, baru bahaya." Siapa pula yang mau jatuh dari ketinggian 120 meter? Luas tempat yang bisa kami duduki di Terra ini mungkin seperti lapangan sepak bola. Kucing batu ini memang raksasa.

"Hm, Kota Gunung, Kota Gunung ...." Deha menatap sekitar. Andai Peta Hayalan sudah kupatenkan, kami tak perlu mencari arah seperti ini, meski seru juga. Dari ketinggian 120 meter, hampir semua hal bisa terlihat sampai garis batas langit.

"Oi, kendaraan kalian ini kok mengerikan?" Rehan berseru dari belakang. "Dia besar, berat, dan terbuat dari batu ... tapi enggak ada yang sadar kalau dia lewat? Apa dia sebangsa jin?"

"Itu namanya, kekuasaan si pencipta dan penguasa!" sahut Deha. "Kami bisa menyembunyikan diri dari siapa pun di Hayalan. Terra sendiri bisa membesar dan mengecil sesuai kebutuhan."

"Kalau kita ketahuan orang-orang, malah bahaya, kali," sahutku. "Andai Terra sungguhan berperilaku seperti batu raksasa, dia akan menghancurkan semua."

Rehan diam saja. Lebih tepatnya, aku tak bisa membaca ekspresinya yang ada di ujung sana, mungkin terpaut 50 meter dari kami.

"Tare, kayaknya kamu harus menggunakan kekuatan sang pencipta itu sekarang." Deha menatap sekitar. "Kota Gunung enggak sampai-sampai. Ia latar realistis di antara Catalyn dan Ladera yang fantasi. Kayaknya, beda universe ini keterlaluan. Kita enggak bakal bisa sampai dengan perjalanan fisik seperti ini."

"Maksudmu, kita nyasar?" Aku melongok ke bawah. Tidak ada rumah. Hanya rumput dan pepohonan, tertembus begitu saja oleh Terra.

"Mungkin? Aku yakin, kita enggak bakal sampai kalau begini terus." Deha menutupi wajah dengan topinya. "Panas. Aku enggak mau kepanggang kelamaan di atas sini."

"Mana otoritas pencipta dan penguasa?"

Kami melonjak karena Rehan tiba-tiba muncul di antara kami.

"Kalau memang kalian pencipta dan penguasa, bikin sesuatu yang bisa membuat kita teleportasi sekarang!" seru Rehan. Ia menudingku. "Kamu juga, katanya mau buru-buru ketemu Tora?"

"Lah, iya, ya. Kok enggak kepikiran?" Aku nyengir ke arah Rehan. "Ide dari mana?"

"Aku!" BZ meloncat ke hadapanku. "Pertama kali Rehan ketemu Tora 'kan atas bantuanku. Dia enggak bakal bisa ke sana kalau lewat jalur normal. Harus ter--bang~!"

"Aku enggak ingat aku pernah terbang bersama dia," gumam Rehan sambil menatap BZ jeri.

"Jadi, kita terbang?" tanya Deha ragu.

"Terra enggak bisa terbang. Dia bisanya menggelinding dan menghancurkan semua yang ia lalui," jawabku.

"Terus, gimana?"

"Kenapa kalian enggak memedulikanku?" BZ berseru lagi. "Kalian lupa identitas asliku?"

"Bukan lupa, enggak tahu," jawabku, disambut anggukan Deha dan Rehan.

"Aku tahunya kamu evil spirit," ujar Deha.

"Ya, anggap saja begitu." BZ terdengar dongkol. "Aku mau hilang lagi saja."

"Tunggu! Kalau kamu ilang, aku bakal panggil kamu lagi!" Aku berhasil menahan BZ. "Kita nyasar. Bantu kami langsung ke Kota Gunung, oke? Evil spirit!"

BZ menyeringai. "Aku tidak punya wujud asli. Aku bisa membesar, mengecil, meniru bermacam-macam, juga merasuki apa pun. Apa Terra akan baik-baik saja?"

"Dia definisi dari batu itu sendiri. Keras dan teguh," jawabku.

"Baiklah. Kalau begitu, bersiaplah semua! Kamu juga, Terra!" BZ mengentakkan kaki. "Kita akan terbang ...!"

"Enggak bisa teleportasi aja?" sungut Rehan.

"Sambil terbang, teleportasi. Master gimana, sih!" BZ emosi lagi. "Baiklah, si Bayangan Hitam yang asli akan muncul. Tiarap semua, enggak ada jaminan kalian enggak mental!"

Deha cekatan memanjangkan sulur-suluran bunganya pada kami sebagai pegangan. Berikutnya, semuanya tampak bergoyang. Angin berembus kencang di kanan-kiri. Telingaku berdenging. Aku memejamkan mata, hanya mampu mencengkeram sulur bunga.

"Destinasi selanjutnya: Kota Gunung!"

(Bersambung)

****

Ya intinya, kami nyasar. Sesuai tema, 'kan?

Gimana kelanjutan cerita absurd ini, ya? XD Emang aneh dari awal.

Jkt, 12/2/21
AL. TARE

Trapped in Hayalan (Again)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang