Day 18

21 4 0
                                    

Tema:
Buat tulisan yang diakhiri dengan kalimat, "Mencintaimu sama seperti menggenggam angan kosong."

****

Judul: hanya sebuah hari biasa, ketika kita terus berjalan

****

Tarik napas ... buang ....

Baiklah, Tare sudah kembali normal. Berasa kena serangan jantung kemarin akutu.

"Em ... Alba, kamu asalnya dari mana?" tanyaku. "Bukan waktu, tapi ... negara?"

"Enggak tahu, batas negara udah rancu waktu itu. Katanya, sih, ortuku pindah--"

Alba terdiam tiba-tiba, aku tak mau memaksanya bicara lebih jauh. Seperti ada trauma yang membayanginya.

"Alba, dengar. Kenapa kamu nanya begitu?" ujar Rehan tiba-tiba. "Kalaupun memang kamu udah mati, lihat kenyataannya sekarang. Kamu hidup.".

Alba menghela napas, lalu mengangguk pelan.

"Aku ingin membuatkan tabung istimewa buat medali emas ajaib ini," ujar Deha tiba-tiba. "Alba, bunga ini menyerap memori dari medali ini. Tare habis melihatnya, makanya sempat hilang kesadaran tadi."

"Lihat apa?" Alba malah antusias.

"Lihat ... enggak usah lihat," kilahku. Bayangkan, aku melihat masa lalu sampai masa depan, ketika dunia masih pada zaman dinasti sampai ketika bumi tak lagi berisi, alias tandus dan gersang.

Tapi belum kiamat, lo? Ini semesta mana? Memang kiamat kapan?

"Ini, kukembalikan." Deha menyerahkan medali itu pada Alba. "Simpan baik-baik. Kamu pemilik sahnya. Sejak kamu melihatnya dan merasakan ikatan kuat itu, kamu yang memilikinya."

"Hm ...." Alba hanya bergumam-gumam.

"Bunga itu menarik," komentar Ivy tiba-tiba.

"Ini?" Deha mengangkat Bunga Kenangan. "Tahu, enggak? Aku sengaja ambil banyak buat persediaan, mana tahu tema bakal terlalu di luar nalar, lalu Tare terpaksa menyelami ingatan banyak orang atau benda biar tetap bisa lanjut cerita."

"Diam." Aku menoyor Deha. Enggak semua paham apa yang kita omongkan.

"Kenapa aku enggak ngeh kamu bawa itu?" tanya Ivy. "Aku boleh minta?"

"Kamu mau lihat kenanganmu?" Deha mengerling.

"Uhm, ya ... bisa jadi."

Deha menyerahkan sekuntum Bunga Kenangan dengan begitu khidmat pada Ivy. "Dia bisa melihat masa lalumu, tapi enggak masa depanmu, kecuali Tare berkehendak."

"Puuh." Ivy malah meledekku.

"Apa?!"

"Kukira, aku bisa tahu aku bakal nikah sama siapa."

"Maaf, linimasa hidupmu belum sampai sana, paling enggak sekarang ini," sahutku. Agak keki mendengarnya, tetapi aku tahu Ivy bukan orang bucin.

Hari ini kami tidak singgah, karena aku tidak tahu mau transit di mana. Jadi perjalanan kami lanjutkan sampai malam.

"Sepuluh hari lagi," ujar RI tiba-tiba.

"Ya?" Aku bereaksi, kaget.

"Alba harus menemukan rumah sebelum sepuluh hari lagi. Kamu mau dia terlunta-lunta enggak jelas setelah kamu tinggal?"

"Ah," gumamku. "RI, firasatku bilang, bakal ada rumah yang menunggunya. Lihat saja bakal ke mana nanti tema-tema membawa."

Memang cerita ini tema-sentris, enggak ada premis. Mohon maaf!

Sudah sore. Tak ada salahnya untuk mencari tempat bermalam, bukan? Kami memang masih bisa berjalan-jalan di atas Terra, tetapi kami juga mau menjejak tanah.

Jangan kira kami akan membuat api unggun di atas Terra.

"Apa kita akan berburu lagi?" tanya Tora. Ia tampak siap dengan ... tombak, yang entah sejak kapan ia bawa.

"Silakan, kalau mau," sahutku. "Reh? Kamu mau temani dia?"

"Boleh, sama Alba juga." Rehan merangkul Alba. "Tare, kayaknya Alba kepikiran sesuatu. Dia bengong melulu dari tadi."

"Kayaknya, aku enggak usah kembali," gumam Alba. "Aku mau cari rumah di sini aja."

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku ... aku berpikir aneh dari tadi." Alba memegangi kepalanya. "Aku di sana udah mati, jadi Ven melepas memoriku dari ragaku–"

"Teknologi apa itu?" potong Deha.

"Lalu, jasadku diawetkan–"

"Memang kamu mumi?" Ganti Ivy yang histeris.

"--Sambil membawa memori bahagia, biar bisa dilihat dalam keadaan tersenyum ...."

"Kenapa kamu berpikir begitu?!" seruku. "Kalau benar Ven melakukan hal itu, dia ... gila!"

"Aku enggak tahu batas normal dan enggak. Yang kutahu, Ven itu sangat anti menyerah. Dia benci padaku karena aku bilang mau mati saja ...."

Hening.

"Apa kemungkinan itu ada?" tanyaku pelan.

"Kemungkinan apa?" sahut Rehan.

"Ven ... menyusul Alba dan sedang berusaha mencarinya sekarang."

****

Malam menjelang. Kami lagi-lagi melipir di tepi hutan. Tora dengan senang hati beranjak. Ia berkata akan berburu ayam hutan. Terserahlah. Ia juga menyeret Rehan dan Alba. Tinggallah para perempuan di sini.

"Kenapa kamu enggak melepas bunga itu?" tanya Deha.

"Lucu. Dia bercahaya." Ivy melambaikan Bunga Kenangan. Seketika bulir-bulir cahaya menyerbak di udara. "Kamu simpan di mana selama ini?"

"Di penyimpanan tak terlihat."

Situ kira ini gim?

"Lalu, kamu udah melihat masa lalumu?" tanya Deha. "Aku jadi penasaran. Tare masih mau-mauan nulis ceritamu."

"Hoi!" Aku menimpuk Deha.

"Belum." Ivy tersenyum kecil. "Gimana caranya?"

"Fokus aja, dan perasaan apa yang paling mendominasi, memori akan muncul sesuai itu," jawabku, yang sebenarnya juga tak terlalu paham.

Ivy menatap bunga di genggamannya. Tampak serius. Beberapa detik lewat, ekspresinya mengendur. "Ah."

"Kenapa?" kejarku dan Deha.

"Aku pernah menjadi teman curhatnya."

Kenapa kata "pernah" itu terdengar begitu menyakitkan?

"Memang, ya. Makin dewasa, menjaga jarak itu sangat perlu." Ivy menghela napas. "Tapi, kalau terus berjarak, gimana aku bisa mendapat harapan? Haruskan aku pasrah menunggu saja, atau melakukan sedikit usaha? Membalas story-nya mungkin, atau menyapanya sesekali? Menyampaikan salam lewat seseorang?"

Aku menelan ludah. Kenapa aku malah ingat diriku sendiri?

"Dia pernah curhat padaku, tentang orang yang dia sukai."

Aaaaaw. Sakit.

Pandangan Ivy sedikit meredup, tetapi ia tetap mengulum senyum. Tangannya gemetar.

"Kenapa hal itu yang kuingat jelas sekarang? Mood-ku memang lagi baik, jadi aku enggak sakit hati. Tapi ... hei. Lima belas tahun sudah lewat, mencintaimu sama seperti menggenggam angan kosong."

****

Day 18 - done

Tare ikut sakit hati, tolong.

Jkt, 18/2/22
zzztare

Trapped in Hayalan (Again)Where stories live. Discover now