19. Tekad

2.5K 148 7
                                    

Hari Minggu jam delapan pagi.

Adam berulang kali menggosok tangan dan meremas rambut karena gugup. Hari ini dia datang menemui papanya Alena untuk melamar putrinya kembali, tanpa membawa orang tua.

Restu dari mamanya sulit didapatkan, sehingga laki-laki itu memilih nekat untuk menikahi sang mantan istri, jika papanya menyetujui.

Sudah setengah jam Adam duduk di sofa ruang tamu rumah kediaman orang tua Alena, tapi belum ada yang muncul kecuali si bibik yang tadi membukakan pintu.

"Dam." Sebuah panggilan mengangetkannya. Hampir saja laki-laki itu terjatuh mendengar suara bass papanya Alena.

"Papa." Adam meraih tangan sang mantan mertua dan menciumnya sebagai tanda hormat.

"Sehat?" tanya laki-laki itu sembari duduk di sofa.

"Alhamdulillah sehat. Papa gimana kabar, masih suka main tenis?" tanya Adam. Dia tahu persis hobi papanya Alena karena mereka cukup dekat setelah pernikahan.

"Sekarang udah jarang. Papa udah tua. Kaki suka keram. Pinggang encok," jawab laki-laki paruh baya itu dengan tenang. Dia sudah tahu apa maksud kedatangan Adam hari ini, karena istrinya yang membuatkan janji temu. Sehingga jadwalnya untuk melakukan survey ke beberapa tempat di-cancel.

"Adam juga jarang olahraga sekarang. Sibuk di kantor. Pekerjaan menumpuk," kata laki-laki itu menimpali.

"Sekarang sudah sukses, ya? Papa senang lihatnya."

"Alhamdulillah saya dipercaya, Pa," jawab Adam dengan penuh percaya diri.

"Masih di kantor lama?"

Nada suara papanya Alena yang tegas saat bertanya membuat Adam sedikit gemetaran. Rasanya sama seperti dulu, saat dia pertama kali datang ke rumah itu untuk berkenalan sekaligus melamar putrinya, sekalipun mereka sudah cukup lama berhubungan.

"Masih, Pa."

"Di televisi berita lagi rame ya, Dam. Itu si Mama nonton gosip," sindir laki-laki paruh baya yang masih gagah itu dengan tatapan intens.

Adam mengusap tengkuk berulang kali dan menjadi serba salah. Dia bingung hendak menjawab apa. Kisah cintanya dengan Cintia yang kandas menimbulkan perbincangan di mana-mana. Untunglah keluarganya tak banyak disorot. Hanya ada satu media yang meliput perihal klarifikasi, itu pun atas seizinnya.

"Sudah mulai adem, Pa. Tadinya riweuh banget," jawab Adam.

"Risiko berhubungan dengan publik figur ya begitu. Apalagi orang tuanya terkenal. Siapa yang gak tau perusahaan kalian. Omset setahunnya bikin ngiler."

"Papa juga keren, kok!" Puji Adam. Papanya Alena juga papanya Cintia adalah orang-orang yang memotivasinya untuk terus maju dan berkarya. 

"Yah, kita laki-laki memang harus mapan. Bukan untuk apa-apa, tapi membahagiakan anak istri," jelasnya.

"Benar, Pa."

"Jadi, maksud kedatangan kamu?"

Mata papanya Alena menatap sang mantan menantu semakin lekat. Itu membuat tangan Adam berkeringat sehingga dia mengelapnya berkali-kali.

Adam menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Saya ... mau rujuk dengan Alena, Pa."

Plong! Akhirnya kata-kata itu terucap. Hatinya lega sekarang, sekalipun detak jantung masih berdebar kencang hingga kini. Papa Alena adalah sosok yang baik dan berkharisma, namun menimbulkan rasa segan bagi siapa saja yang kenal dengannya.

"Serius?"

"Serius, Pa," jawab Adam yakin.

"Secinta itu?"

Me & My Ex [Tamat/Cetak Buku]Onde histórias criam vida. Descubra agora