#3 Bandage

566 105 0
                                    

Jisoo sedang mengepel lantai kafe tempat dimana ia bekerja, meskipun ia adalah seorang barista tapi pekerjaan di tempat ini akan di kerjakan oleh semua karyawan, mulai dari menyapu, mengepel, mengelap kaca, menghitung stok barang sampai dengan pelayanan kepada konsumen akan mereka lakukan semuanya. Dia akan datang 1 jam sebelum jam kafe beroperasi dan membersihkan bagian-bagian yang biasanya di tempati oleh konsumen agar tetap terlihat bersih.

"Hai Jisoo-ya.." Seulgi, kini menjadi teman satu shiftnya. Jisoo hanya membalasnya dengan gerakan kepala. "Full shift?"

"Iya aku mengambil full shift karena.."

"Ya aku tau, Irene ada acara." Jisoo hanya mengangguk mengerti dan kembali melanjutkan pekerjaannya, tidak banyak yang tau jika Seulgi kini sedang menjalin hubungan yang cukup dekat dengan sang supervisor, Bae Joohyun atau yang akrab di panggil Irene.

Lain halnya dengan Jisoo yang sibuk dengan pekerjaannya, Jennie baru saja sampai di kampus sesaat setelah ia turun dari sebuah bus yang memang sejalur dengan arah menuju kampusnya. Ia menyibakan rambut panjangnya yang berwarna cokelat dan panjang nyaris melebihi bahunya, memancarkan pesona bagaimana seorang wanita hampir bisa di sebut sempurna.

Jennie tidak pernah terbuka pada siapapun, teman-teman di kampusnya hanya sebatas kenal dan tau jika Jennie memang senang menyendiri, ia melakukan banyak hal sendiri. Tapi ada satu orang yang selalu menjadi teman Jennie, yaitu Rose. Jennie berani sedikit terbuka meskipun tidak semua hal ia ceritakan pada Rose namun hanya Rose lah teman terdekat gadis bermata kucing itu.

Kali ini sebuah plester luka menghiasi garis rahang sebelah kirinya, entah luka apa yang ia dapat tapi bekas luka bukanlah hal yang aneh, hampir setiap hari Jennie memilikinya.

"Kenapa lagi?" Jennie duduk di samping Rose setelah ia sampai di kelas. Pertanyaan Rose tentu saja mengarah pada luka itu.

"Tidak ada, hanya kecelakaan kecil saja." Jennie mengangkat tangan kirinya dengan hati-hati, Rose tau jika tangannya tidak baik-baik saja. Wajah Jennie meringis dalam diam, namun ia berusaha untuk menutupi semuanya.

Pekan ujian akan di mulai minggu depan, Rose yang notabenenya adalah seorang mahasiswi pintar selalu mengajak Jennie untuk belajar bersama namun Jennie selalu menolaknya. Banyak alasan yang selalu Jennie berikan dan Rose percaya akan hal itu. Kali ini Rose akan mencobanya lagi, berharap Jennie mengiyakan ajakannya.

"Kita ke kedai kopi sekalian belajar, bagaimana?" tawar Rose.

Sebuah senyuman terlihat di sudut bibir Jennie diikuti dengan anggukan. "Baiklah, kali ini aku akan ikut." wajah Rose terlihat tidak percaya, akhirnya Jennie mau pergi hanya sekedar minum kopi bersamanya.

***

Kedai itu terlihat ramai karena letaknya cukup strategis di tengah kota, Jisoo dan Seulgi sibuk mengurusi beberapa pesanan konsumen yang bergantian datang dan pergi. Rose dan Jennie masuk ke dalam kedai dan mencari tempat yang cocok untuk mereka.

"Aku ingin duduk di dekat jendela, boleh?" tawar Jennie yang ternyata sudah menemukan satu tempat di dekat jendela. Rose hanya mengikuti Jennie dan ikut duduk disana.

"Kau pesan apa?"

"Iced Americano." jawab Jennie dingin. Rose segera pergi memesan dan meninggalkan Jennie sendirian disana. Gadis bermata kucing itu memejamkan matanya perlahan ada rasa sakit yang ia tahan sedari tadi, namun sulit baginya untuk terus berpura-pura apalagi ini adalah tempat umum. Ia pun pergi ke kamar mandi tanpa ia sadari ternyata ada orang yang melihat kepergian Jennie.

"Awww.." ringisnya saat Jennie membuka hoodie yang ia kenakan, banyak lebam di sekujur tubuhnya. Bahkan ada luka sobek yang masih basah tepat di lengan kirinya. Darah sudah merembes dari perban yang menutupi lukanya dan Jennie tidak membawa perban pengganti.

Tok.. Tok.. Tok..

Jennie mengerutkan dahinya, menunggu beberapa saat sampai ketukan pintu kamar mandinya kembali terdengar.

"Buka." suara datar itu membuat Jennie tertegun dan memutuskan untuk membuka pintu kamar mandinya dengan perlahan. Tubuh Jisoo merangsek masuk ke dalam memaksa Jennie terduduk di sebuah kloset yang tertutup.

Jisoo segera berlutut dan membuka sebuah kotak P3K yang ia bawa, mengeluarkan beberapa perban dan plester. "Siapapun kau, aku tidak membutuhkan bantuanmu dan bisakah kau pergi dari sini?" tolak Jennie namun tatapan Jisoo padanya membuat Jennie mati kutu. Tidak ada orang yang sedingin dan sejahat Jennie, tapi Jisoo lebih dari itu.

"Aku tau kalau hoodiemu berwarna hitam, tidak akan ada yang sadar kalau di baliknya ada banyak memar dan luka." Jisoo mengganti perban yang menutupi luka Jennie dengan sedikit kasar membuat darah berdesir cepat mengalir ke sumber luka.

"Bisakah kau sedikit lembut? Kau bahkan tidak memiliki perasaan saat mengobati seseorang."

"Apa aku harus memiliki perasaan pada seseorang yang dengan jahat menghabisi nyawa orang?" Samar-samar Jennie mengingat siapa wanita yang ada di depannya ini.

"Kau terlihat lebih jahat daripada aku." celoteh Jennie.

"Lukamu perlu di jahit, meskipun tidak dalam namun akan lama menyembuhkannya kalau tidak di jahit. Sayang, kulitmu mulus jangan merusak keindahannya." setiap kata yang terucap dari mulut Jisoo membuat Jennie merasakan hal yang lain. Bukan perasaan terharu karena ada orang baik yang sudah menolongnya tapi perasaan senang, tertantang, dan merasakan sebuah adrenalin lain.

"Kau tau banyak tentang ini, aku curiga." Jennie merasakan hal yang sama, intuisinya selalu tepat pada orang-orang yang memiliki kepribadian seperti dirinya.

"Aku bukan pembunuh." jawab Jisoo sesuai seperti apa yang Jennie duga. "Ada berapa banyak memar yang ada di tubuhmu?"

"Bukan urusanmu."

Kreekk..

"Arrgghh.." Jennie melenguh kesakitan sampai meneteskan air mata ketika Jisoo dengan tepat menyentuh bahunya yang terkilir.

"Kau bahkan tidak bisa menyembuhkan dirimu sendiri." Jisoo mengambil posisi yang benar di depan Jennie dan Jennie segera menggigit hoodienya sendiri.

Traakk..

Jisoo membantu Jennie membenarkan letak sendi bahunya yang terkilir dan itu rasanya sangat sakit. "Kau membutuhkan orang lain."

"Aku tidak butuh siapapun." Jennie mengenakan hoodienya kembali dengan perlahan-lahan dan Jisoo hanya memperhatikan sosok gadis di depannya dari atas kepala sampai ujung kaki. Mereka berdua keluar dari kamar mandi setelah Jisoo memastikan tidak ada orang yang melihat mereka.

"Terima kasih." ucap Jennie, Jisoo terdiam.

"Aku tidak tau kalau seorang pembunuh bisa berterima kasih." geleng Jisoo tidak percaya disertai senyuman remehnya.

"Aku juga tidak tau kalau seorang psikopat bisa berbaik hati mau membantu orang yang terluka." Jisoo kembali terdiam setelah ucapan Jennie terucap telak di hadapannya.

"Tutup mulutmu dan anggap ini semua tidak pernah terjadi." itulah kalimat terakhir yang Jisoo ucapkan pada Jennie sebelum mereka berpisah.

***

Bloody LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang